Menulis Sosial-Politik || Menulis Tentang Entertainment, Mostly K-industry
Tampilkan postingan dengan label policy paper. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label policy paper. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Oktober 2021

Policy Paper Kebijakan Publik : Mewujudkan Pelayanan Publik yang Ramah Disabilitas


 

1.1 Pendahuluan

            Permasalahan mengenai disabilitas dalam pembangunan sering kali dimarjinalkan. Pengekslusifan tersebut sering kali merugikan kesempatan para penyandang disabilitas dalam berpartisipasi untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif. Hal ini mengakibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang penyandang disabilitas memiliki kualitas hidup yang rendah dikarenakan tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Perbaikan untuk melawan ketidaksetaraan ini pun diwujudkan dengan  memasukan pembangunan inklusif bagi para penyandang disabilitas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Perbaikan ini dilakukan demi merubah lingkungan yang tidak seimbang dalam proses pembangunan di suatu negara. Dengan adanya pembangunan inklusif, diharapkan ada perbaikan dalam tatanan ekonomi, sosial, maupun budaya di dalam pembangunan yang berkelanjutan (United Nations, 2016).

Salah satunya ialah mengenai kesempatan mengakses pelayanan publik secara nyaman. Kesempatan pelayanan publik yang diwadahi pemerintah pun kerap kali terbatas bagi para penyandang disabilitas. Situasi ini pun akhirnya merugikan kesempatan Negara dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dengan tidak mengikutsertakan para penyadang disabilitas untuk turut andil. Pelayanan publik merupakan salah satu fasilitas yang harus diberikan oleh warga negara dalam mewujudkan hak-hak yang mereka miliki. Pelayanan publik tersebut tentu wajib dipenuhi demi mewujudkan makna good governance itu sendiri. Fasilitas yang diberikan oleh negara merupakan jembatan Negara dalam memecahkan maupun memenuhi kebutuhan dan hak warga negaranya. Karakteristik pelayanan publik yang wajib diberikan ialah excellent service. Pelayanan ini diberikan sesuai dengan standar yang berada di dalam sebuah instansi pemerintahan (Sutopo, 2003).

Pelayanan publik sudah seharusnya mewujudkan kebijakan pelayanan maupun pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) demi kepentingan publik. Namun, sering kali temuan yang ada di lapangan ialah pelayanan publik tidak berorientasi untuk menangani permasalahan publik. Pelayanan yang diberikan pun tidak responsif terhadap para penyandang disabilitas. Padahal jika kita telisik lebih jauh, di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 telah menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama seperti para penyandang non-disabilitas lainnya. Nyatanya kebijakan tersebut pun belum dipenuhi sepenuhnya.

Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para penyandang disabilitas ataupun mendukung pembangunan inklusif pun tidak diwujudkan secara baik. Dari segi pelayanan maupun aksesibilitas para penyandang disabilitas pun belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Fasilitas seperti terminal, trotoar, tempat penyeberangan maupun toilet umum pun belum diberikan akses yang layak bagi para penyandang disabilitas.

Permasalahan yang lain pun muncul, salah satunya ialah kurang pahamnya penyandang disabilitas akan hak-hak yang seharusnya bisa diberikan Negara. Para penyandang disabilitas pun minim pengetahuan akan fasilitas pelayanan umum yang bisa mereka dapatkan seperti penyandang non-disabilitas lainnya. Selama ini pula, para penyandang disabilitas jarang sekali menuntut hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan secara nyata. Bahkan, terkesan lebih pasrah mengenai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Kendati demikian, peran dan partisipasi pemerintah dalam merubah pelayanan publik yang diskriminatif pun perlu dilakukan. Dengan ini pun pemerintah sedang mewujudkan pembangunan inklsuif dalam kebijakannya. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah pun harus memenuhi kebutuhan seluruh warga negaranya, termasuk penyandang disabilitas itu sendiri. Setiap pelayanan yang diberikan pun harus menjamin kesempatan yang sama untuk menghargai mereka yang selama ini hidup dibayang-bayang ketidaksetaraan. Dengan ini, pihak dari pemerintah pusat maupun daerah harus memahami bagaimana kebijakan yang tepat tanpa adanya diskriminasi di kalangan masyarakat. Pemerintah pun harus menggandeng organisasi sosial yang bersangkutan dalam guna mewujudkan pembangunan inklusif.

 

1.2 Kajian Teoritik

1.2.1 Penyandang Disabilitas

Definisi mengenai penyandang disabilitas pun memiliki definisi yang beragam di dalam bidang akademik. Disabilitas atau different ability memiliki makna yang mengacu kepada manusia dengan kemampuan yang berbeda. Pengucapan disabilitas digunakan untuk mengganti pelafalan dari “penyandang cacat” yang memiliki konotasi negatif. Di dalam teori Personnal Tragedy yang dikemukakan oleh Barnes pun mendefinisikan bahwa disabilitas merupakan kondisi tubuh yang berasal dari adanya kecacatan ataupun kelainan (Rofah, 2011). Teori ini sering disebut sebagai teori biomedis. Definisi lainnya di era kontemporer saat ini pun memiliki definisi yang berbeda, teori ini sering kali disebut sebagai teori biopsikososial. Teori ini menggabungkan dari teori biomedis yang berpusat kepada faktor kelainan (impairments). Namun, teori ini juga menambahkan faktor lainnya, seperti faktor attitudinal barries atau lingkungan fisik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan data statistik yang menunjukan bahwa penyandang disabilitas memiliki jumlah sebesar 15% dari populasi yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri  pun total para penyandang disabilitas menapai 36 juta atau setara dengan 15% dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Isu-isu mengenai penyandang disabilitas pun kerap kali dibicarakan dalam skala global. Indonesia sendiri pun telah meratifikasi konvensi internasional yang telah disetujui bersama melalui Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Konvenan tersebut diratifikasi di dalam UU No. 19 Tahun 2011, yang di dalamnya mengatur mengenai hak-hak yang harus dipenuhi negara terpihak. Sebelumnya, Indonesia pun sudah memiliki UU yang mengatur mengenai disabilitas, yaitu UU No. 4 Tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Namun UU tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Sehingga, dilakukan revisi yang terbaru dalam UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

Kebijakan tersebut dirubah dikarenakan penggunaan kata cacat yang terkesan diskriminatif. Kata cacat yang berada di “penyandang cacat” dinilai sebagai kata yang diinterpretasikan sebagai suatu hal yang tidak sempurna. Dengan demikian, kata cacat pun telah mekonstruksi para penyandang disabilitas sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang “tidak sempurna”. Tuntutan pun mulai berdatangan demi memanusiakan para penyandang disabilitas, dengan tujuan untuk merekonstruksi ulang mengenai istilah yang dilabelkan kepada para penyandang disabilitas. Penggantian kata “cacat” tersebut diharapkan bisa merubah kacamata masyarakat lainnya untuk tidak memandang secara diskriminatif. Dengan adanya kata different ability, diharapkan masyarakat lainnya menyadari bahwa semua orang sama, hanya saja mereka mengartikulasikan sesuatu dengan berbeda. Jika kita bisa berkomunikasi dengan menggunakan mulut kita, para penyandang disabilitas pun juga bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan alat bantu. Penyebutan tersebut pun berganti menjadi difabel – dimana tidak memiliki konotasi negatif. Dengan penyebutan tersebut, para penyandang disabilitas dianggap hanya memiliki perbedaan dalam kemampuan, bukan tidak memiliki kemampuan sama sekali. Yang mereka butuhkan hanyalah alat pembantu agar bisa melakukan aktivitasnya (Fakih, 2011). Namun istilah difabel pun juga menuai kontroversi, kata tersebut dinilai sebagai orang yang sakit. Difabel dianggap sebagai suatu yang mengalami kelemahan secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan tersebutlah yang mengakibatkan penurunan akan kualitas di dalam hidupnya.

Paradigma lainnya yang muncul di kalangan penyandang disabilitas ialah berasal dari perkembangan civil rights. Para penyandang disabilitas merupakan bagian yang berada di dalam masyarakat – terlahir sama seperti yang lain dan hidup secara wajar. Paradigma ini berkaitan dengan persoalan sosial – yang menyangkut ekonomi, kebijakan, hingga sumberdaya. Kemunculan paradigma satu ini tidak langsung menghapus paradigma penyandang disabilitas lainnya, namun paradigma tersebut menggambarkan fenomena difabel sebagai suatu yang bisa dilihat dengan sudut pandang apapun. Keberadaan dari para penyandang disabilitas pun tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi maupun memarjinalkan keberadaan mereka, justru hal ini yang seharusnya menjadi pemantik untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif.

Di dalam kebijakan yang berada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, maupun sensorik dengan jangka waktu yang lama. Sehingga, para penyandang disabilitas pun mengalami hambatan dalam berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara. Kendati demikian, aksesibilitas pun diperlukan guna memenuhi hak-hak yang dimiliki bagi setiap warga negara. Di dalam pasal 1 ayat 8 telah menyebutkan bahwa aksesibilitas telah diberikan guna memanifestasikan kesetaraan. Kesetaraan tersebut pun diwujudkan dalam kesamaan kesempatan melalui pemberian peluang ataupun akses secara adil.

Saat pergeseran definisi tersebut pun bertransisi menjadi difabel, maka pola pikir pemerintah pun seharusnya berubah. Para penyandang disabilitas bukanlah orang yang memiliki kecacatan dan dari kecacatan tersebut harus diakomodasi melalui pelayanan. Akan tetapi, para penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang berbeda dan hal tersebut yang harus diakomodasi oleh pemerintah.

1.2.2 Pelayanan Publik

Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan kebijakan yang tertera di dalam undang-undang. Pelayanan tersebut diberikan kepada setiap warga negara berupa barang, jasa, ataupun administratif. Pelayanan digunakan untuk menyediakan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009, harus memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif, partisipatif, dan fasilitas bagi para penyandang disabilitas. Kendati demikian, pengimplementasian pelayanan publik sudah seyogianya menganut keadilan bagi warga negaranya, termasuk para penyandang disabilitas.

Pelayanan sendiri memiliki definisi sebagai aktivitas yang dilakukan dengan orientasi tertentu dan memiliki tingkat kepuasan yang harus dirasakan penerima (Moenir, 2002). Pelayanan pun berkorelasi dengan kebutuhan dari para penerima. Mengenai pelayanan publik sendiri, pelayanan publik memiliki orientasi untuk memenuhi kepuasan dari warga negaranya. Dengan demikian, asas-asas yang perlu dipenuhi dalam pelayanan publik berkorelasi dengan transparansi, keseimbangan antara hak maupun kewajiban, akuntabilitas, keamanan hak, kondisional, serta partisipatif. Pelayanan publik pun juga memiliki prinsip yang bekutat kepada (1) kesederhanaan; (2) kepastian waktu; (3) akurasi; (4) kejelasan; (5) keamanan; (6) kenyamanan; (7) fasilitas sarana prasarana yang lengkap; (8) kedisplinan, sopan, dan ramah; (9) kemudahan akses dan; (10) tanggung jawab. Yang terakhir – pelayanan publik memiliki standar yang harus ditaati, meliputi (1) prosedur pelayanan; (2) kompetensi petugas; (3) waktu penyelesaian; (4) biaya pelayanan; (5) produk pelayanan dan; (6) sarana dan prasarana. Asas, prinsip, maupun standar pelayanan publik harus ditaati dan diberikan kepada masyarakat. Ketiga hal tersebut pun menjadi pedoman hingga indikator untuk mengevaluasi kinerja dari suatu pelayanan publik di suatu instansi.

Sedangkan publik memiliki pengertian sebagai masyarakat umum itu sendiri. Masyarakat yang harus diatur dan dilayani oleh Negara, selain menjadi administrator – Negara juga bekerja sebagai penguasa yang membentuk regulasi hukum negaranya. Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu hal yang menyangkut dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat umum. Pelayanan tersebut akan ditujukan kepada mereka yang memiliki kebutuhan ataupun kepentingan sesuai dengan aturan yang telah berlaku (Joko, 2001).

Aktivitas yang diberikan oleh pemerintah dalam pelayanan publik kerap kali dinilai kurang dalam memenuhi kepuasan hingga kebutuhan dari masyarakat. Kendati demikian, diperlukan sebuah manajemen pelayanan publik guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu pelayanan. Kegiatan manajemen publik ini pun merupakan kegiatan yang dilakukan guna merubah sebuah rencana menjadi kenyataan, berupa sebuah produksi, sikap ataupun perbuatan (Moenir, 2002). Kegiatan manajemen diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Kendati demikian, sebuah manajemen pelayanan publik memiliki tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu memenuhi kepuasan dari publik. Walaupun, tujuan dari kegiatan tersebut terlihat mudah – akan tetapi, tujuan tersebut memerlukan keseriusan untuk mencapainya.

Selain itu, pelayanan merupakan suatu aktivitas yang memerlukan sikap positif dan diberikan kepada penerima atau pelanggan. Sikap yang perlu diperhatikan dalam pelayanan ialah seperti senyum, gerak gerik, cara berbusana, kecekatan dan bagaimana cara berkomunikasi kepada pelanggan. Hal ini tentu akan memberikan kesan yang positif dan memberikan kepuasan tersendiri terhadap pelayanan yang diberikan (Soeling, 2007). Namun, hal tersebut merupakan sebagian dari kecil yang perlu dilakukan. Bagian yang terpenting dalam pelayanan publik ialah bagaimana merancang sistematis yang baik dengan tujuan memudahkan komunikasi antara pelayan dan pelanggan (Sewel, 1997).

Hal lainnya yang berkaitan dengan pelayanan ialah bagaimana kualitas dari pelayanan tersebut. Melihat bahwa organisasi sektor publik lebih banyak bergerak kepada bidang jasa – kendati demikian, kualitas dari pelayanan menjadi sebuah kunci, seperti kualitas dalam memenuhi harapan konsumen, kualitas dalam pengaplikasian untuk produk maupun jasa (Goetsch, 1997). Untuk menciptakan kualitas pelayanan yang prima atau excelence service, diperlukan tiga hal, yaitu (1) kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan dari pelanggan hingga karakteristik pelanggan; (2) pengembangan database yang akurat; (3) memanfaatkan informasi yang berasal dari riset pasar.

Dengan demikian, diharapkan melalui pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, akan memberikan pelayanan yang bisa membuaskan kebutuhan hingga keinginan masyarakat itu sendiri, termasuk mereka yang berada di kelompok rentan. Dengan adanya kebijakan yang sudah berlaku, maka pemerintah harus berperan secara andil dalam memberikan solusi maupun tawaran kepada penyandang disabilitas guna membangun pembangunan hingga kebijakan yang inklusif. Dengan cara memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif dan bisa dimanfaatkan secara luas. Misalnya, seperti tuna netra yang membutuhkan braile ataupun komputer suara dalam pelayanannya. Hingga, penyediaan pelayanan umum seperti transportasi, halte, ataupun jalan penyeberangan yang ramah bagi para penyandang disabilitas. 

 

1.3 Memenuhi Pelayanan Publik yang Ramah bagi Para Penyandang Disabilitas

Banyaknya permasalahan yang menyangkut para penyandang disabilitas, salah satunya ialah mengenai pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Maka, tidak heran pula permasalahan ini pun menjadi isu yang krusial hingga dijadikan salah satu komitmen di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada tahun 2015-2019 lalu. Komitmen yang tertera di dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tersebut pun didukung oleh UU mengenai pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang diselenggarakan dengan pelayanan yang adil dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Pelayanan publik merupakan salah satu hak yang perlu dipenuhi oleh Pemerintah diantara 23 hak yang dimiliki para penyandang disabilitas.

Sayangnya implementasi kebijakan tersebut pun belum berjalan baik sebagaimana semestinya. Kebijakan tersebut hanya berkutat kepada prinsip umum, tidak bergerak secara spesifik. Di dalam peraturan Kementerian Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2014 mengenai Pedoman Standar Pelayanan pun tidak menunjukkan semangat non-diskriminasi maupun pelayanan khusus kepada kelompok rentan. Dengan demikian, masih sering kali ditemukan pelayanan yang tidak ramah terhadap disabilitas. Seperti, yang kerap kali terjadi ialah tidak ada Aparatur Sipil Negara (ASN) di suatu instansi yang bisa berkomunikasi bahasa isyarat. Akhirnya, pelayanan pun terhambat dikarenakan kesulitan menerjemahkan para penyandang disabilitas tuna rungu maupun wicara. Dengan ini, para penyandang disabilitas pun kesusahan untuk mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini tentunya menjadi refleksi bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam membenahi fasilitas pelayanan publik yang ramah bagi para penyandang disabilitas.

Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik sudah seharusnya menyediakan hingga melakukan sosialisasi maupun edukasi mengenai pelayanan publik yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas. Sosialisasi maupun edukasi menjadi suatu hal yang penting dalam dunia pelayanan publik; mengingat masih banyak minimnya pengetahuan dari internal pemerintah itu sendiri mengenai pelayanan yang ramah disabilitas.

Permasalahan yang sering terjadi di dalam dunia pelayanan publik ialah pelayanan di bidang pendidikan maupun kesehatan. Melihat UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, telah menyatakan kewajiban akan menyelenggarakan layanan pendidikan khusus dan setara bagi para penyandang disabilitas. Kebijakan ini pun diperkuat lagi melalui Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa setiap tingkatan pendidikan (TK-Perguruan Tinggi) harus menerima peserta didik tanpa adanya diskriminasi secara fisik maupun mental. Namun, realitas yang terjadi ialah para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49% (BPS, 2015). Dengan demikian, pendidikan inklusi perlu diterapkan lebih serius lagi. Mengingat pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang tidak memarjinalkan para penyandang disabilitas dengan cara menempatkan mereka seperti teman sebayanya di sekolah reguler.

Pendidikan inklusi memang telah dilakukan uji coba semenjak tahun 2001, namun menjumpai permasalahan di dalamnya. Permasalahan di dalam pendidikan inklusif ialah (1) minimnya pengajar pendamping khusus (GPK); (2) minimnya kompetensi guru dalam menangani murid penyandang disabilitas; (3) kurangnya pelatihan mengenai pendidikan inklusi; (4) guru mengalami kesulitas dalam mengajar dan murid pun susah mengikuti pelajaran; dan (5) program, administrasi, dan SDM yang belum siap menampung pendidikan inklusi. Serta, masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh pengimplementasian dari pelayanan pendidikan inklsuif.

Persoalan lainnya yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah pelayanan kesehatan. Permasalahan itu sering berkaitan dengan akses yang diberikan oleh puskesmas hingga rumah sakit. Tantangan yang sering dihadapi ialah para penyandang disabilitas mengalami kesusahan untuk mengakses pelayanan tersebut. seperti, minimnya fasilitas yang mendukung kenyamanan para penyandang disabilitas – lantai licin, koridor yang sempit, petunjuk arah yang tidak bisa dinikmati oleh tuna netra. Minimnya petugas pelayanan yang bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas; akibatnya mereka pun kesulitan untuk mengartikulasikan kebutuhannya. Kemudian, permasalahan yang paling kompleks ialah ketidakmampuan mendatangi fasilitas kesehatan yang mendukung bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil. Ketika mereka membutuhkan pengobatan hingga terapi, mereka pun sulit datang untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Pelayanan yang paling dimungkinkan untuk didapatkan ialah pelayanan dari rumah (homecare services). Pelayanan yang diberikan dengan mengunjungi rumah penyangdang disabilitas sebagai alternatif untuk meringankan beban mereka.

 

1.4 Rekomendasi Kebijakan

Melihat permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh para penyandang disabilitas – dengan demikian, diperlukan terobosan baru guna mewujudkan pelayanan publik yang ramah disabilitas guna mewujudkan pembangunan secara inklusif. Berikut beberapa rekomendasi yang diberikan guna menyukseskan kebijakan yang ramah bagi disabilitas terhadap pembangunan inklusif.

1.      Sosialisasi dan Edukasi kepada Penyelenggara Pelayanan Publik. Melihat minimnya pengetahuan tentang disabilitas dalam pelayanan publik; melakukan sosialisasi hingga edukasi mengenai pelayanan publik yang ramah terhadap disabilitas perlu dilakukan. Para calon Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja melayani masyarakat – sudah seharusnya memiliki kompetensi untuk mengerti mengenai pelayanan publik yang inklusif. Kendati demikian, diperlukan Sekolah Inklsuif Pelayanan Publik (SIP PUBLIK)  – dengan tujuan agar para tenaga kerja yang bekerja di sektor publik bisa melayani tanpa tidak mengerti bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas. Sosialisasi dan edukasi mengenai pelayanan publik perlu dilakukan, apalagi mengingat sudah terbitnya kebijakan yang mengatur mengenai disabilitas. Selain itu, sektor publik pun harus memastikan adanya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat secara holistik; dari yang awam hingga yang sudah teredukasi. Dengan demikian, masyarakat pun semakin kritis dan partisipatif dalam isu-isu disabilitas; mengingat disabilitas memiliki hak yang sama seperti non-disabilitas lainnya. Masyarakat pun bisa mengingatkan kepada mereka yeng memiliki kerabat penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya dari negara. Selain itu, tidak pula lupa untuk melakukan evaluasi secara berkala melalui forum dan survei secara publik.

 

2.      Aksesibilitas melalui Sarana dan Prasana yang Ramah Disabilitas. Menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap para penyandang disabilitas. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Permen Umum No. 30 Tahun 2006 – ada sarana prasarana yang perlu dipenuhi secara fisik; bangunan, lingkungan, ruang terbuka, dan penghijau, hingga tempat yang sering dikunjungi para penyandang disabilitas. Dalam peraturan tersebut – menekankan kepada (1) keselamatan; (2) kegunaan; dan (3) kemandirian. Contohnya, pembangunan fisik di dalam Perguruan Tinggi (PT) Negeri maupun Swasta ialah aksesibilitas yang meliputi, (1) ram atau tangga landai; (2) ruangan yang dilengkapi informasi secara braille; (3) toilet khusus disabilitas; (4) lift atau eskalator; (5) pintu otomatis dengan sensor; (6) keamanan lingkungan; (7) identitas suatu gedung; dan (8) parkir khusus (Andayani, 2010). Kemudian, aksesibilitas nonfisik yanng perlu diperhatikan pula meliputi, (1) apakah informasi yang disebarluaskan bisa dipahami para penyandang disabilitas; (2) memodifikasi media informasi dengan huruf yang besar; dan (3) communication support.

 

3.      Mewujudkan Pendidikan yang Inklusif. Pendidikan secara inklusif perlu diperlakukan dengan memasukkan konsep kewajiban Guru Pendamping Khusus (GPK) yang perlu dimiliki bagi setiap guru maupun tenaga pengajar. Menciptakan kurikulum yang secara khusus membahas mengenai pendidikan inklusif. Selain itu, suatu institusi pendidikan pun perlu membentuk Unit Layanan Disabilitas – seperti menyediakan pendamping bagi para penyandang disabilitas.

 

4.      Memaksimalkan Pendidikan Informal bagi Penyandang Disabilitas. Mengingat bahwasanya para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49%. Pendidikan non formal/informal perlu dimaksimalkan dan dikembangkan lebih jauh lagi untuk menyiapkan mereka memasuki dunia kerja. Kementeriaan Pendidikan, Sosial dan Tenaga kerja perlu berkolaborasi guna mempersiapkan mereka siap kerja. Dengan menyediakan pelatihan persiapan karier sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan saat ini. Pemerintah pun perlu bekerja sama dengan organisasi maupun perusahaan, seperti Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia hingga Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia – yang memiliki platform aplikasi untuk menunjang kemandirian bagi para penyandang disabilitas. 

 

5.      Pelayanan Kesehatan Kolaboratif. Pelayanan kesehatan yang kolaboratif perlu dilakukan antara kota, kecamatan, hingga kelurahan. Program yang bisa dimaksimalkan ialah melakukan kerja sama yang sinergis, apabila pelayanan dari tingkat bawah tidak memadai. Kemudian, menyediakan sarana dan prasana yang ramah disabilitas – seperti ramp khusus bagi kursi roda, menyediakan hand rail, loket antrean yang adaptif, dan tulisan berjalan. Tidak lupa juga untuk menyediakan pelayanan kunjungan secara langsung, tanpa harus datang ke rumah sakit (homecare services).

 

Daftar Pustaka

Andayani, Ro’fah dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif: Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel. Yogyakarta: PSLD UIN Sunan Kalijaga, Pertuni, ICEVI dan Nippon Foundation.

Badan Pusat Statistik. 2015. www.bps.go.id.

Moenir. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi. Aksara.

Rofah, dkk. 2011. Konsep Dasar Disabilitas dan Pendidikan Inklusif, Disabilitas dan Pendidikan Tinggi: Bunga Rampai Penelitian. Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga UIN Sunan Kalijaga

Sewel, Carl dan Paul B. Brown. 1997. Pelanggan Seumur Hidup, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Tangga.

Soeling, Pantius D. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung jawab social perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis dan Birokrasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan

Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Ratifikasi Konvensi Hak

Penyandang Disabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Penyandang Disabilitas.

 

Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi

  Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi   Sandiaga Uno menyebarkan optimisme peluang bisnis Usaha Mikro, Kecil...