“Tangan Jahil Koruptor Daerah dalam Penderitaan Korban Bencana”
Posisi Indonesia yang strategis dikelilingi
oleh ‘Ring Of Fire’ telah menjadikan negara ini mengalami rawan akan bencana
alam. Sering kali yang dijumpai di Indonesia, seperti gempa bumi, banjir,
longsor, tsunami maupun bencana lainnya. Jika kita kilas balik ke tahun 2018,
setidaknya Indonesia mengalami tiga bencana besar – seperti gempa yang terjadi
di Lombok, tsunami di Donggala, maupun Tsunami di Selat Sunda. Mirisnya, di
tengah penderitaan, masih banyak yang melakukan penyelewengan bantuan dana yang
seharusnya ditunjukkan kepada masyarakat. Bahkan, lebih parahnya lagi – ada
yang melakukan pungutan liar di atas penderitaan korban bencana alam.
Kejutan bagi para pelaku korupsi dana bencana
pun dilayangkan, seperti adanya potensi hukuman mati. Di dalam Pasal 2 ayat (1)
dan (2) UU Tipikor yang mengatur mengenai hukuman mati yang memungkinkan untuk
dijatuhkan. Seperti pada saat ini, semua negara di seluruh dunia, termasuk
Indonesia sedang mengalami bencana alam Covid-19. Bencana ini pun sudah
dijadikan sebagai bencana nasional oleh Presiden Jokowi.
Kalimat “keadaan tertentu” yang terdapat di
dalam pasal 2 ayat (2) UU Tipikor mengacu kepada tindak pidana yang dilakukan
ketika negara sedang mengalami keadaan bahaya, salah satunya ialah bencana alam
nasional. Bagi sebagian orang, hukuman mati telah menyalahi hak untuk hidup yang
dimiliki setiap individu. Tetapi, ada pula yang berkata sebaliknya. Tuntutan
pidana ini merupakan salah satu cara yang memiliki efek jera untuk memenggal
keserakahan. Ketika sanksi spiritual mengenai siksa neraka enggan lagi bergerak,
uang menjadi alat tebus dalam mengurangi masa tahanan, penjara berubah menjadi
kamar hotel bintang tiga, maka hukuman mati layak diterapkan.
Seperti penyakit yang sudah mendarah daging,
korupsi pun susah disembuhkan. Walaupun negara Indonesia adalah negara hukum
dan kasus korupsi sudah diproses oleh hukum, belum tentu tindak pidana ini akan
berhenti. Sebagai sebuah refleksi, apakah memang salah satu penyebab korupsi
dikarenakan sistem negara ini yang masih mandul maupun para koruptor yang satu
langkah lebih gesit? (Hardian, 2011). Walaupun seperti itu, korupsi sering kali
dilakukan karena ada faktor pendorong yang memicu tindakan kecurangan. Di dalam
teori GONE, tindak pidana korupsi dilakukan karena ada Greed,
Opprotunity, Need, dan Exposes. Teori satu ini merupakan penyempurnaan
dari teori Triangle Fraud yang dikemukakan oleh Cressey (1953), yang
menyebutkan korupsi disebabkan oleh tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.
Di dalam teori Gone yang ditulis oleh
Jack Bologne, ke empat unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain. Greed,
mengandaikan keserakahan yang dilakukan oleh para koruptor, hal ini secara
potensial – ada di dalam setiap individu. Opportunity, berkaitan dengan
adanya kesempatan yang memberikan ‘jalan tikus’ untuk malapraktik tindak pidana
korupsi – hal ini berkaitan dengan organisasi ataupun lingkungan yang memadai. Need,
kebutuhan adalah salah satu sikap yang tidak pernah habis melalui konsumsi yang
berlebihan dan merasa tidak cukup akan kebutuhan yang tak terselesaikan. Yang
terakhir, Exposes, hal ini berkaitan dengan hukuman yang diterapkan
begitu lemah, hukuman yang diberikan tidak membuat jera, dan tidak memberikan
efek detterence (gentar) yang signifikan.
Hal ini bisa kita kontemplasikan dengan
kasus-kasus tindak pidana korupsi bencana alam yang terjadi di daerah.
Walaupun, sudah melakukan penyelewengan – hukuman pun tidak berjalan dengan
baik. Beberapa diantaranya ialah seperti kasus mantan bupati Nias. Ketika tahun
2011, Binahati Benedictus – yang merupakan eks bupati Nias, terlibat dalam
kasus penyelewengan dana bantuan bencana tsunami yang melanda kabupaten Nias.
Dugaan korupsi tersebut terjadi dari tahun 2006 hingga 2008. Kerugian tersebut
memakan anggaran sebesar Rp3,7 Miliar dari Rp9,4 miliar yang digelontorkan
untuk rehabilitasi bencana alam yang terjadi pada tahun 2005 tersebut. Hukuman
yang diberikan kepadanya ialah lima tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Penyelewengan yang dilakukan ialah dengan cara mark up dana bantuan yang
diperuntukkan pemberdayaan masyarakat Nias pasca tsunami 2005. Kemudian,
terjadi lagi di Mataram, Lombok. Anggota DPRD, Muhir, melakukan pungutan liar
senilai Rp4,2 Miliar yang berasal dari anggaran proyek APBDP 2018. Padahal,
anggaran tersebut untuk membangun infrastruktur sekolah yang runtuh akibat
gempa bumi di kota Mataram. Namun, lagi-lagi, Muhir hanya diberikan vonis dua
tahun penjara dan dikenakan denda sebanyak Rp50 juta. Hingga, pungutan liar pun
terjadi di bagian NTB lainnya yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Agama –
dengan tujuan untuk merenovasi masjid akibat gempa yang menimpa NTB.
Keserakahan untuk meraup keuntungan pribadi
dengan memanfaatkan kondisi bencana alam sangatlah mematikan. Selain, merugikan
masyarakat yang terdampak, lingkungan tidak lekas membaik, dan miss
management untuk rehabilitasi pun akhirnya berjalan dengan meninggalkan
keadilan yang seharusnya dipeluk erat oleh para korban bencana alam. Alih-alih,
korupsi yang bersumber dari APBN/ APBD/ dana pihak lain malah dijadikan sebagai
tangan jahil dalam penanganan bencana yang terjadi. Keserakahan dilakukan
dengan berbagai cara untuk memenuhi hasrat yang ingin digapainya.
Seperti, yang terjadi di Kabupaten Mataram –
Muhir memeras uang ke dinas pendidikan karena telah memuluskan rencana proyek
rehabilitasi unit gedung SD dan SMP yang dianggarkan Rp4,2 Miliar. Dengan
adanya kesempatan tersebut, Kesempatan ini lah yang memicu terjadinya
kecurangan (Albrecht, 2004). Kesempatan tersebut didasari oleh kebutuhan yang
ia ingin penuhi. Muhir pun mendapatkan 31 juta atas kecurangan tersebut. Hukuman
yang didapatkan pun hanya dua tahun dalam masa tahanan.
Masih banyak kasus-kasus korupsi dana bencana
alam yang terjadi di Indonesia, bahkan kasus-kasus korupsi ini pun menimpa
“Pokmas” yang dipercayai untuk menyalurkan dana bantuan tersebut kepada
masyarakat. Penggelapan uang ini terjadi di Mataram, penggelapan uang ini
seharusnya dipakai untuk membangun rumah di desa Sigerongan, Lombok yang
terdampak gempa. Alih-alih, uang tersebut tidak diberikan. Uang tersebut
digunakan untuk kebutuhan individu dan melakukan aktivitas judi online (Kompas,
2019).
Dari sini bisa terlihat, bahwa korupsi akan
memperburuk dampak bencana alam yang terjadi, hingga memperberat beban dari
penderitaan korban. Penggelapan tersebut menjadi biang kerok yang mengakibatkan
kegagalan pemerintah dalam meminimalkan kerusakan yang terjadi, merehabilitasi
secara maksimal pascabencana, membangun sdm pulih kembali hingga menata kembali
infrastruktur yang terdapat di kota yang terdampak tersebut.
Dampak tersebut secara rinci bisa berdampak
kepada politik dan pemerintahan suatu daerah, korupsi akan menjadikan penguatan
dari sistem plutokrasi itu sendiri – kekuasaan dimiliki para elite politik, mereka
yang memiliki modal. Dalam kasus bencana, korupsi tidak akan memberikan
masyarakat kepada sikap simpati, melainkan menurunnya kepercayaan publik kepada
pemerintah. Dampak masif korupsi lainnya
yang pun terjadi dalam kerusakan lingkungan, melihat bahwasanya bencana alam
sudah menghancurkan rumah-rumah hingga pelayanan publik pun merupakan kisah
yang memilukan. Diperparah lagi dengan melakukan korupsi, akibatnya akan
terjadi penurunan kualitas dari lingkungan hidup. Korupsi bencana alam telah
menghambat rehabilitasi fasilitas privat, publik, hingga lingkungan hidup itu
sendiri. Hal ini pun memicu penurunan kualitas hidup dari sdm, kerusakan yang
sudah parah ditambah perparah – akan berdampak kepada jaminan kesehatan
masyarakat.
Praktik korupsi lainnya pun berdampak terhadap
perekonomian masyarakat, mahalnya harga komoditas pun terbentuk. Kondisi ini
terjadi karena harus menutupi kerugian, pun korupsi telah memperlambat
pengentasan kemiskinan. Ketika fasilitas publik maupun pribadi rusak, akhirnya
banyak sekali masyarakat yang menjadi pengangguran. Seperti yang terjadi
akhir-akhir ini, dampak dari bencana Covid-19, gelombang PHK Karyawan meningkat
hingga tingkat pengangguran yang diprediksi mengalami kenaikan hingga 2,9 – 5,2
juta orang. Gelombang PHK ini bisa dirasakan oleh 300 karyawan Ramayana yang
diputus kontraknya, karena perusahaan tidak mampu lagi menutup biaya. Yang
terakhir, korupsi akan berdampak kepada kesejahteraan sosial di suatu kota.
Ketika bencana alam sudah melanda, masyarakat sudah tidak memiliki pemasukan
yang pasti. Maka, sifat solidaritas gotong royong pun akan menjadi suatu hal
yang langka. Hingga, dampak paling buruk yang terjadi ialah peningkatan
kriminalitas di masyarakat. Hal ini terbukti dengan peningkatan kriminalitas
yang terjadi selama masa pandemi Covid-19, peningkatan ini sebesar 19,72
persen. Kasus ini antara lain seperti pencurian, kejahatan, hingga bunuh diri.
Korupsi yang terjadi yang menambah penderitaan
korban bencana merupakan tanda bahaya bagi kita semua. Dari sini, kita bisa
menyadari bahwa korupsi sudah merajalela ke banyak sektor dan mulai tidak
terkendali. Ketika korupsi sudah memasuki stadium gawat darurat (Syed Hussain,
1981), maka korupsi akan menyebar secara menyeluruh, tersistematis, dan akan
saling menghancurkan. Bencana korupsi akan memantik bencana lainnya untuk
datang menggerogoti negara – fasilitas publik buruk, biaya politik akan makin
mahal, kemiskinan yang terjadi pada masyarakat, sampai rusaknya lingkungan
hidup. Maka, rekomendasi yang bisa diberikan ketika terjadi korupsi dalam
bidang bencana ialah, 1) pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk
mencegah bencana korupsi, dan semua jenis korupsi yang terjadi; 2) memperkuat
pengawasan kepada pemerintah daerah yang menggunakan anggaran ataupun dana
untuk membantu korban yang terdampak; 3) melakukan penunjukan langsung ketika
memberikan bantuan, dibandingkan dengan adanya mekanisme tender. Hal ini sangat
rawan terjadi praktik penyelewengan; 4) perbaikan tata kelola dana bencana
dengan memperhitungkan prioritas yang perlu dilakukan, pengkoordinasian,
pengelolaan dana hingga audit. Kendati demikian, korupsi yang terjadi pada
kondisi bencana alam pun akan minim dan rehabilitasi akan berjalan secara
maksimal.
Daftar Pustaka
Jurnal dan Buku
Albrecht, W. S. 2004. Fraud and corporate executives: Agency, stewardship
and broken trust. Journal of Forensic Accounting, Vol 5, page 109-130.
Bologna, J., Lindquist, R. J., & Wells, J. T. 1993. The Accountant's
Handbook of Fraud and Commercial Crime: Wiley New York, NY.
Hardian, I. 2011. Kasus pengadaan barang/jasa berdasarkan temuan BPK RI. Jurnal
Pengadaan, Senarai Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, 1.
Syed Hussein. 1975. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES
Artikel Online
Detik. 2017. Korupsi Dana Bencana Alam Mantan Bupati Nias Divonis 5 Tahun.
Diambil dari https://news.detik.com/berita/d-1700996/korupsi-dana-bencana-alam-mantan-bupati-nias-divonis-5-tahun.
ICW. 2019. Korupsi dan Bencana [E-Bulletin]. Diambil dari https://antikorupsi.org/id/bulletin/korupsi-dan-bencana.
ICW. 2019. Korupsi Bencana, Bencana Korupsi. Diambil dari
https://antikorupsi.org/id/opini/korupsi-bencana-bencana-korupsi.
Kata Data. 2020. Kriminalitas Meningkat Selama Pandemi Corona Sebanyak Apa.
Diambil dari
https://katadata.co.id/berita/2020/04/22/kriminalitas-meningkat-selama-pandemi-corona-sebanyak-apa.
Kumparan. 2018. Korupsi Bencana Jauh Dari Hukuman Mati. Diambil dari https://kumparan.com/sabir-laluhu/korupsi-bencana-jauh-dari-hukuman-mati-1539483837110164209/full.
Kompas. 2019. Bendahara Pokmas Gelapkan Dana Gempa Rp 400 Juta untuk Judi
Online. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2019/11/01/10190111/bendahara-pokmas-gelapkan-dana-gempa-rp-400-juta-untuk-judi-online.
Warta Ekonomi. 2020. Gelombang PHK Makin Mengancam 300 Karyawan Ramayana.
Diambil dari https://www.wartaekonomi.co.id/read280017/gelombang-phk-makin-mengancam-300-karyawan-ramayana-bahkan-belum-terima-pesangon.
https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-politik-dan-demokrasi
https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-kerusakan-lingkungan
https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-sosial-dan-kemiskinan