Menulis Sosial-Politik || Menulis Tentang Entertainment, Mostly K-industry
Tampilkan postingan dengan label tulisan politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tulisan politik. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Oktober 2021

Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi

 Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi


 

Sandiaga Uno menyebarkan optimisme peluang bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di masa pandemi, melalui peluang yang berkembang pesat melalui digitalisasi. Salah satu caranya melalui platform media sosial, yang membuka jalan ekosistem dalam memperbaiki perekonomian Indonesia di masa krisis.

Melihat kondisi UMKM yang merosot akibat pandemi. Sandi melalui siaran langsung instagram bersama Warta Ekonomi pada Rabu (1/8/2020), mengajak untuk saling berkolaborasi dan berpegang tangan di ombang-ambing jurang resesi. “Kondisi UMKM sangat menyedihkan di masa pandemi. Kondisi perekonomian UMKM jatuh di ronde pertama. Kita perlu bantu UMKM, mengingat ekonomi kita pun tidak dalam keadaan baik-baik saja. Saling berpegangan tangan di jurang resesi,” ucapnya.

Politikus yang terkenal dengan gagasan ‘OK-OCE’ satu ini pun menyerukan agar kita tidak perlu panik dan terpecah belah. Justru, ada peluang di masa krisis akibat pandemi. Salah satunya, perekonomian negara yang disokong oleh UMKM.

“Justru dengan pandemi, kewirausahaan jadi penopang UMKM. 99% lebih dari populasi dunia usaha UMKM jadi penopang. 97% lapangan pekerjaan dicetak UMKM. 60% ekonomi disumbang UMKM. Jadi, mayoritas penggerak ekonomi negara di sektor UMKM,” tambahnya.

Ia juga melanjutkan, penyuksesan UMKM diperlukan nilai-nilai orientasi kewirausahaan didalam diri pengusaha. “Kewirausahaan yang orientasi kepada inovasi, berani ambil risiko, proaktif berangkat dari diri sendiri, bisa menjadi jawaban di masa pandemi. Semua ini pun diawali dari mindset, karena wirausaha bukan sekadar profesi,” kata Sandi melalui siaran langsung di kanal instagramnya.

Dalam sesinya, Sandi juga membeberkan bisnis apa yang  sebenarnya dibutuhkan di masa pandemi. Ia menjawab bahwa peluang tersebut berawal dari kebutuhan masyarakat, seperti sembako dan bahan pokok. Selain kebutuhan dasar tersebut, ia juga menekankan bisnis ekonomi kreatif hingga usaha yang berkaitan dengan sisi kesehatan di masa pandemi yang tak kalah penting.

Bisnis-bisnis UMKM juga disarankan agar bisa beradaptasi di era digitalisasi, melihat realita mengatakan hanya 13%  yang menggunakan teknologi sebagai penciptaan nilai. Padahal digitalisasi bisa membentuk sebuah ekosistem jejaring. “Kita harus membangun ekosistem jejaring. Melalui ekosistem ini, UMKM mendapatkan peluang bertahan melalui silaturahmi, hingga meningkatkan omset,” bebernya.

Sandi mengajak para pembisnis UMKM, dari anak muda hingga mak-mak, agar mencari inovasi dalam melihat peluang bisnis. Ia pun menyinggung inovasi yang telah dibuatnya melalui startup digital miliknya dalam menjawab permasalahan yang timbul di masyarakat, salah satunya ialah ‘Sembapur’. “Saya melihat Sembapur sebagai ikhtiar pembuatan start up untuk menangani permasalahan yang dihadapi ibu-ibu, mengenai harga bergejolak yang tidak stabil,” tuturnya. “Saya juga membuat Rumah Siap Kerja untuk meningkatkan keterampilan kerja.”

Semua inovasi diciptakan Sandi  melibatkan dunia digital, karena Sandi percaya bahwa media sosial bisa menjadi ajang ekosistem untuk membuka lapangan pekerjaan. “Media sosial menjadi ekosistem yang membuka lapangan pekerjaan, karena kita saling terhubung. Kita saling kolaborasi untuk membuka ekosistem baru di masa pandemi,” tegas Sandi dalam akun instagram @sandiuno miliknya.

 

Geger Narasi Provokatif, Jokowi disuruh Hengkang dari Jabatan Presiden


 

Geger Narasi Provokatif, Jokowi disuruh Hengkang dari Jabatan Presiden

Oleh : Marsya Martia

Seruan narasi provokatif geger menyudutkan Jokowi untuk hengkang dari jabatan presiden. Dari ajakan aksi melalui ‘Jokowi Endgame’, hingga cuitan tagar ‘Mundur Aja Pakde’, telah ramai tergaungkan di media sosial. Banyak pihak yang menyuruh Presiden Joko Widodo agar turun dari kursi nomor satu di Indonesia.

Cuitan penurunan Jokowi di twitter dengan tagar #MundurAjaPakde ramai, hingga trending beberapa waktu lalu. Melihat kicauan provoktif tersebut, Ali Mochtar Ngabalin, selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden ikut ambil suara.

Ngabalin menutur mereka sebagai sampah demokrasi yang memiliki hati dengki. Sebutan sampah demokrasi tersebut, telah diutarakannya melalui akun twitternya @AliNgabalinNew.

Sampah-sampah Demokrasi minta Jokowi mundur, banyak yang sakit hati karena selain tidak ikhlas juga karena lukanya sangat dalam,” tulis Ngabalin pada Jumat (9/7). Ia juga menutup cuitan tersebut dengan sebuah pantun, Hati-hati licin jika terjatuh patah tangan. Barang siapa selalu ngibulin, serbet Ngabalin akan turun tangan.”

Hal ini berbanding balik dengan respon Ustaz Haikal Hassan, yang sepakat mengenai penurunan Jokowi selaku presiden. “Pak Jokowi, maaf, saya oposisi dan saya setuju mengenai pendapat yang menyarankan Bapak untuk mundur,” katanya di dalam sebuah video “Apakah Corona Mematikan” di Cyber TV pada Minggu (9/21).

Pendakwah yang terkenal sering memberi kritik satu ini pun mengatakan, apabila Pak Jokowi tidak mau mundur dari jabatan, ia merasa tidak keberatan. Ia hanya mengusulkan proposal pengunduran Jokowi dari jabatannya.

Selain cuitan ‘Mundur Aja Pakde’, aksi penurunan Jokowi terlihat melalui poster ‘Jokowi Endgame’. Poster tersebut tengah disoroti publik dikarenakan adanya seruan untuk melakukan aksi demonstrasi. Badan Intelejen Nasional (BIN) pun turun tangan menindak viralnya poster aksi tersebut.

BIN menyebutkan bahwa ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan terselubung, dengan tujuan untuk memprovokasi rakyat agar melakukan aksi di tengah pandemi COVID-19.

Salah satu Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan demonstrasi memang dilindungi oleh konstitusi, namun ketika dilaksanakan di masa pandemi sangatlah riskan. Ia mengatakan seruan aksi tersebut tidak merefleksikan jiwa patriotis, karena seluruh elemen bangsa sedang melawan penyebaran virus Corona.

Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan bagian dari penyebaran aspirasi yang dilindungi oleh konstitusi. demikian, aksi demonstrasi di masa pandemi COVID-19 sangat berbahaya dan tidak mencerminkan jiwa patriotis karena negara dan seluruh elemen bangsa saat ini sedang menghadapi penyebaran virus Corona," kata Wawan saat ditengah wawancarai, Minggu (25/7).

Ia juga menghimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi dengan narasi yang bermunculan di media sosial dan mematuhi kebijakan PPKM. Mengingat aksi demontrasi bisa memunculkan klaster baru dalam penularan COVID-19. BIN menyarakan agar masyarakat menyampaikan aspirasi dengan cara lain, demi mengurangi potensi penyebaran di masa krisis.

"PPKM yang menjadi naskah sorotan dalam ajakan demonstrasi, dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warga. Siapa saja yang berencana untuk melakukan aksi, lebih baik menyampaikan aspirasi dengan cara lain, baik secara tertulis maupun langsung, disampaikan dengan baik dengan konsep akademik dan lain sebagainya," sebutnya.

BIN pun tidak tinggal diam mengenai narasi provokatif yang beredar tersebut. BIN melakukan pendeteksian dan koordinasi melalui forum Kominda ataupun Forkominda untuk menindaklanjuti situasi hasutan yang marak di media sosial. BIN juga mengajak masyarakat untuk menolak aksi di masa pandemic COVID-19 dan membutuhkan solidaritas dari semua elemen masyarakat.

"Masyarakat diimbau untuk mewaspadai narasi provokatif di media sosial dan menolak demo di masa pandemi COVID-19. Saat ini yang dibutuhkan adalah solidaritas semua pihak, untuk bersama-sama mengatasi virus Corona,tutup Wawan.

 

 

 

Kamis, 21 Oktober 2021

Gerakan Kelompok Perempuan Era Orde Baru dan Reformasi



Dua puluh tahun Indonesia sudah lepas dari cengkraman rezim Orde Baru, namun keterwakilan perempuan dan permasalahan kesetaraan gender masih belum merata secara holistik. Rendahnya partisipasi ataupun rendahnya kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh kaum perempuan pun dilarang ketika masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Yang menyebabkan perempuan mengalami pendomestikan politik dan tersubordinasi dalam sistem politik yang patriarki.

    Kemudian, diskriminasi sistematis masih terjadi dan kebijakan afirmatif yang belum merata. Dalam konstruksi budaya yang di bentuk dalam masyarakat untuk permasalahan gender pun, perempuan selalu dicap menempati posisi kedua setelah laki-laki. Distribusi dalam pekerjaan pun berbasis jenis kelamin telah menandai adanya stratifikasi gender yang membuat perempuan hanya berkutik di wilayah domestik saja, sedangkan laki-laki di wilayah publik. Lalu, apakah perempuan tidak boleh menduduki tatanan publik ataupun berorganisasi untuk menyuarakan pendapatnya?

    Realita yang terjadi ialah organisasi perempuan menurun secara kuantitatif dan kualitatif. Banyak organisasi perempuan di era Orde Lama dibubarkan oleh rezim karena dianggap membahayakan stabilitas pemerintah dan tidak menguntungkan bagi pemerintah. Kemudian, untuk mengganti dan mewujudkan kepentingannya dalam melanggengkan kekuasaan, pemerintah membuat wadah baru untuk perempuan dengan menciptakan organisasi Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

    Orientasi organisasi ini hanya untuk formalitas belaka, ketimbang  membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Sistem politik Orde Baru di desain sedimikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsu. Pemerintah Orde Baru menggunakan instrumen lembaga negara untuk memasukan nilai dan budaya patriarki pada perempuan, hal ini agar perempuan menjauhi aktivitas politik yang bisa membahayakan rezim.

    Setelah Soeharto dengan Orde Barunya turun setelah melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun, reformasi memberikan harapan baru terhadap pergerakan atau organisasi wanita yang fungsinya telah direduksi ketika Orde Baru. Di masa reformasi, gerakan dan kumpulan kelompok perempuan lambat laun hadir di permukaan untuk membangkitkan kembali semangat berorganisasi dan berpolitik untuk mewujudkan kesetaraan yang adil. Lambat laun pasca Orde Baru, organisasi mulai berusaha keluar dari lubang dogma yang dibuat oleh Orde Baru.

Analisis dan Pembahasan

    Jatuhnya Indonsia ke rezim soeharto merupakan negara dengan konsep era Orde Baru. Negara Orde Baru adalah sebuah negara yang melanggengkan konsep dwifungsi militer yang bertujuan untuk menopang dan melindungi negara, jika perlu hingga mengorbankan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara dan militer tersebut. Masa periode Orde Baru merupakan masa paling banyak disoroti sebagai periode yang paling tinggi frekuensinya dalam pelanggaran hak asasi manusia dan lunturnya nilai demokrasi.

    Dengan kenyataan bahwa penyimpangan tersebut tidak hanya terjadi oleh kaum laki-laki saja, tetapi dalam kenyataannya perempuan juga mengalami sebuah ketidakadilan yang dilakukan di era Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan bentuk kekerasan ataupun ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di dalam rumah tangga sebagai wilayah privat sampai kepada kekerasan yang dipresentasikan negara ke dalam wilayah publik. Untuk mewujudkan negara bebas dari ancaman idelogi kiri, maka muncul kebijakan tumpas kelor. Semua organisasi yang dicap "keluarga komunis", salah satunya organisasi perempuan Gerwani yang telah disiksa dan dikalahkan.

    Upaya itu mula-mula dilkukan dengan meniadakan sebuah organisasi yang terkait dengan G30S. Sambil terus mencitrakan dan mengkampanyekan bahwa  perempuan anggota Gerwani ialah kumpulan perempuan cantik tetapi kejam dan amoral. Perempuan yang memiliki suara atau pandangan politik dianggap perempuan banal. Hal itu yang menyurutkan aktivisme yang dilakukan oleh kaum perempuan. Padahal pada masa pemerintahan sebelumnya gerakan perempuan yang diwadahi dengan hadirnya kelompok perempuan sangat berkembang pesat secara baik. Kelompok perempuan pada saat itu sangat homogen, ada yang berafiliasi dengan partai politik, ada yang karena kesamaan agama, maupun kelompok independen yang mempunyai tujuan politik.

    Perkembangan ini ditandainya dengan terwujudnya sebuah organisasi wanit PSSI, Muslimat (organisasi perempuan partai masyumi), wanita demokrat (organisasi perempuan PNI), dan Aisyiah (organisasi perempuan muhamadiyah). Kemudian, untuk organisasi gerakan perempuan independen ialah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). 

    Banyaknya organisasi gerakan perempuan terbentuk didasari semangat demokrasi dan kesetaraan gender. Meskipun partisipasi ketika era Orde Lama dalam parlemen hanya dua persen saja, namun dalam gerakan politik, hal ini merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Namun setelah orde baru berkuasa, hadirnya kelompok perempuan yang sudah terorganisir secara baik pun menurun secara intensitas dan kekuatan politik. Banyak organisasi perempuan yang dibubarkan oleh Soeharto, karena dianggap membahayakan stabilitas politik dan tidak menguntungkan bagi pemerintah Orde Baru.

    Setelah adanya tendesi yang dibuat oleh rezim Soeharto dengan adanya pembasmian kelompok perempuan, kontrol pemerintah semakin meningkat. Sebuah kongres wanita Indonesia, yaitu Kowani menjadi cikal bakal menjadi pengesahan yang resmi dari pemerintahan. Kowani ditunjuk oleh pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi payung bagi semua kelompok wanita, dari organisasi profesional, sosial, keagamaan sampai organisasi-organisasi fungsional (Suryakusuma, 2011).

    Para pemimpin organisasi-organisasi perempuan yang berkaitan dengan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) meningkatkan jumlah wakil mereka dalam pengurus eksekutif Kowani (Reeve, 1983). Namun, penunjukan Kowani sebagai organisasi semua kelompk wanita menjadikannya mati dalam perjuangan perempuan. Kowani mendapatkan legitimasi resmi dari pemerintah dalam Panca Dharma Wanita. Pertama, wanita sebagai pendamping setia suami. Kedua, wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa. Ketiga, wanita sebagai pendidikan dan pembimbing anak. Keempat, wanita sebagai pengatur rumah tangga. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat berguna.

    Perjuangan kaum wanita sudah mati di era Orde Baru, mereka membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya "ikut suami" (Suryakusuma, 2011). Panca Dharma Wanita sangat membatasi pergerakan perempuan dengan adanya domestifikasi dan depolitisasi yang terjadi pada perempuan. Perempuan hanya mengurusi suami, anak, dan rumah tangga. Perempuan sama sekali tidak diberikan ruang untuk menikmati hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia. Keadaan tersebut juga dikenal sebagai patriarki ataupun bapakisme.

    Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol ketat oleh pemerintah. Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, dimana keanggotaan organisasi tersebut mengikuti hierarki suami. Dharma Wanita dianggotai para istri pegawai organisasi pemerintah sipil, intinya para istri birokrat. Organisasi Dharma Pertiwi juga merupakan kelompok wanita (istri) para serdadu tentara.

    Kumpulan wanita di era Orde Baru terlihat bahwasanya kumpulan tersebut tidak lain sebuah kumpulan yang tidak merdeka sepenuhnya, tidak ada peran perempuan yang signifikan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dalam ranah publik dan privat. Jika melihat strategi-strategi politik pada era Orde Baru yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan, pembentukan kelompok perempuan tersebut tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk menggalangkan dan menjinakkan perempuan agar menjadi bagian dari pendukung Orde Baru.

    Orde baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita shingga organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan di era Orde Baru. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi wanita juga harus selaras dengan apa yang ditujukan. Dengan itu, kita bisa melihat bahwa organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan perpolitikkan yang otoriter kala itu. Sulit jika mau melakukan tindakan menentang struktur sosial yang sudah ada, karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Bagi kaum wanita, hal ini menunjukkan hilangnya otonomi secara nyata. Kaum perempuan dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persengkokolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal (Wieringa, 1999). Nilai yang dibentuk oleh Orde Baru tentang feminitas adalah bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang mengabdikan dirinya sendiri hanya untuk keperluan domestik. Pembentukan Dharma Wanita tidak lain  digunakan kesempatannya sebagai kaki tangan partai Golongan Karya untuk mendapatkan suara dan dukungan dari kalangan istri birokrat. Dan sesungguhnya kelompok perempuan ini tidak bisa dinilai sebagai organisasi perempuan, mereka hanya dianggap sebagai kelompok ibu-ibu pejabat yang suka dandan dan berkumpul hanya untuk acara seremonial yang tidak penting.

    Orde Baru memang membiakan adanya representasi gerakan perempuan sebatas parsipatoris pasif agar tidak militan seperti masa Orde Lama. Pemerintah berhasil menggiring perempuan yang bukan non PNS dan non ABRI untuk masuk ke dalam organisasi PKK untuk menyukseskan program pemerintah. Nasib gerakan perempuan yang seharusnya dilakukan oleh kelompok perempuan tanpa campur tangan pemerintah, alih-alih nasib kelompok perempuan ada di tangan penguasa.

    Hal itu tentunya mengaburkan sebuah perjuangan gerakan perempuan. Kelompok perempuan terbelenggu oleh pemerintah yang otoriter, tidak bisa mempengaruhi kebijakan ataupun tidak dibenarkan kelompok perempuan memperjuangkan hak gender dan ideologi politiknya. Kelompok perempuan yang hadir juga tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan.

    Peran perempuan hanya sebagai aktor pasif pada era Orde Baru, kaum perempuan hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim militer yang pro-kapitalisme. Disini peran negara hilang sebagai arena pertarungan untuk merebut hak perempuan, tetapi yang dilakukan negara malah sebaliknya. Negara berhasil memanipulasi hak perempuan seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun relitasnya tetaplah koncowingking pendukung politik bapakisme-negara.

    Pada masa periode 1980-1998, muncul gelombang kelompok perempuan baru yang memperjuangkan dan merebut kembali hak perempuan yang dihancurkan. Kelompok perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari pengembangan ekonomi, advokasi kekerasa terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk terwakilkan di parlemen.

    Di kalangan kelompok studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap di dalam praktik perjuangannya. Pelopor kelompok perempuan untuk melawan otoritarianisme yang dilakukan pemerintah Soeharto ialah Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, yang mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi tenaga kerja perempuan.

    Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme, dan kapitalisme. Kelompok perempuan sebelum periode 1980an tetaplah kelompok yang pasif dan tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar dalam perpolitikkan era Soeharto, tetapi ketika sudah memasuki periode yang vital dalam era Orde Baru dan memasuki periode baru, kelompok perempuan mulai memperjuangkan hak pereampuan yang termanifestasi ke dalam isu-isu perempuan guna memobilisasi melawan perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru. 

    Di sini negara menjadi arena pertarungan -- antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru. Maka bisa kita lihat bahwa usaha pemerintah Orde Baru untuk menundukkan perempuan dan organisasi perempuan dengan begitu tak sepenuhnya berhasil. Para perempuan berserikat menjadi satu kesatuan, membangun kembali organisasi, dan bersama-sama menentang pemerintahan represif Soeharto.

Kelompok Perempuan Era Reformasi

    Setelah jatuhnnya rezim Soeharto, keberadaan kelompok perempuan semakin mendapat tempat. Perjuangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak kaum perempuan yang selama ini telah dipasung oleh pemerintah atas nama kepentingan negara semakin terbuka lebar. Organisasi peempuan terus bermunculan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk yayasan, LSM, ataupun ormas. Melainkan juga dalam bentuk women crisis center dan hotline. Kelompok perempuan Indonesia juga mengadakan sebuah kongres perempuan Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 -- 22 Desember 1998 di Yogyakarta.

    Salah satu permasalahan yang diperjuangkan ialah isu melawan kekerasan terhadap perempuan sebagai agenda hak asasi perempuan dan hak perempuan dalam parlemen. Sebab realitas Indonesia dari merdeka hingga saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen. Keterwakilan perempuan juga mulai diwadahi dengan munculnya partai politik dengan sayap organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya, Golkar memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), PKB memiliki Perempuan Kebangkitan Bangsa, PAN memiliki Perempuan Amanat Nasional, dan lain sebagainya. 

    Keberpihakan terhadap kaum perempuan juga ditunjukkan dengan adanya amandemen UUD 1945 dan memuat kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam ranah publik ataupun privat, termasuk dalam bidang hukum dan pemerintahan. Saat pembetukan draft amandemen UUD 1945, organisasi perempuan juga dilibatkan di bawah koordinasi Komite Perempuan untuk perdamaian dan demokrasi. Hal ini diperkuat dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 46, tentang HAM yang menjamin representasi perempuan, baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk permasalahan keterwakilan dalam parlemen, kelompok perempuan mendeklarasikan tindakan afirmatif kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan.

    Tindakan afirmatif untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan dicantumkan ke dalam UU Pemilu, walaupun masih banyak kekurangan. Begitu pula di bidang hak asasi perempuan juga memiliki legitimasi negara dengan hadirnya Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan. Dalam era Reformasi, hampir seluruh organisasi perempuan menyuarakan persoalan isu hak perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada produksi legislasi dan anggaran. Agenda kelompok perempuan pun juga tidak ditolak oleh negara bahkan diberikan akses. Hal ini menujukan progresivitas kelompok perempuan dalam negara. Kelompok perempuan pada era ini sudah menjadi aktor aktif yang bisa memuarakan isu-isu perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada legislasi dan anggaran.

    Ketika perempuan sudah bisa memperjuangkan hak politiknya dengan munculnya legislasi mengenai representasi perempuan 30 persen dalam parlemen, kuota tersebut masih belum menjanjikan keterwakilan perempuan dan kelompok marjinal. Kuota tersebut juga bukan tujuan kelompok perempuan, melainkan sarana awal untuk politik yang lebih berkeadilan. Politik representasi perempuan diharapkan bisa merangkul semua elemen perempuan agar menghasilkan kebijakan yang adil. Namun, hal ini masih belum tercapai dikarenakan elite politik, baik perempuan ataupun laki-laki, masih terjebak dalam polarisasi politik jangka pendek dan memandang demokrasi sudah dijalankan ketika pemilihan umum sudah dilaksanakan.

    Kemudian, Untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar mencapai wilayah publik, harus melalui pintu partai politik sebagai salah satunya mesin politik di Indonesia. Sedangkan, partai politik di Indonesia hanya merekrut kaum perempuan sebatas formalitas belaka. Dunia politik era Reformasi, masih dibayangi oleh budaya maskulinisme yang tinggi. Representasi perempuan Indonesia dalam parlemen hanya pada tahapan asal perempuan saja, tetapi tidak membicarakan tentang bagaimana perempuan itu mau berbuat apa kedepannya agar bisa membuat kebijakan politik yang tidak diskriminasi gender.

    Reformasi Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi. Reformasi memang terwujud, tetapi dalam arti politik rekognisi (pengakuan) negara terhadap agenda perempuan dan gerakan perempuan. Pengakuan tersebut belum disertai redistribusi power dan kesejahteraan. Rekognisi yang membentuk wacana dominan ialah hadirnya kuota 30 persen bagi perempuan. Wacana ini yang mendorong banyak perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilu dan ruang politik telah mengakui adanya perempuan.

    Tetapi, rekognisi tersebut masih bersifat kuantitatif. Sebab, partisipasi perempuan dimaknai sebatas kehadiran tanpa disertai redistribusi power. Redistribusi power yang seharusnya ialah perempuan mempunyai power untuk mewujudkan pemenuhan kepentingan politik perempuannya. Rekognisi tanpa adanya redistribusi power dan kesejahteraan, belum bermakna sebagai reformasi yang substansial. Karena ini jalan menuju keadilan bagi kelompok perempuan masih berupa harapan.

    Perjuangan kelompok ataupun kaum perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu menghapus diskrimasi dan ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan kelompok perempuan tidak dapat dilakukan oleh kelompok perempuan yang sudah hadir saja, melainkan kelompok perempuan harus bisa merangkul perempuan lainnya dalam tingakatan sosial manapun dan melakukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender yang adil.

    Selain itu, perjuangan tersebut memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan. Agar perjuangan tersebut bisa terorganisir secara baik dengan adanya arus perubahan yang bergerak secara dinamis. Disamping itu, perjuangan tersebut memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat dalam rangka mengeliminasi berbagai kendala kultural, struktural, dan instrumental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di semua lini kehidupan.

Kesimpulan

    Masa transisi menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus diawasi dan dibelenggu atas nama kepentingan negara. Salah satu contoh nyata adalah gerakan penghancuran hingga ke akar-akarnya yang dilakukan terhadap Gerwani pada tahun 1965.

    Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang "keperempuanan". Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada masyarakat. Hal tersebut tentu melanggengkan budaya patriarki.

    Kelompok perempuan ketika masa Orde Baru tidak bisa melakukan perubahan, mereka bukanlah agen yang dapat mengetahui gugus dari struktur yang bisa mereka masuki dan rubah, gugus tersebut antara lain gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Kelompok perempuan tidak seperti kumpulan birokrat ataupun militer yang bisa membawa perubahan ke dalam struktur. Kelompok perempuan tidak bisa melakukan dominasi penguasaan dalam konteks politik maupun ekonomi ataupun mendapat legitimasi dalam tatanan hukum, karena adanya gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi yang miliki oleh pemerintah pada saat itu.

    Adanya penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa. Akan tetapi setelah memasuki reformasi, gerakan perempuan sudah keluar dari aturan yang membelenggu dan dogma yang dibuat oleh Orde Baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyak organisasi perempuan yang berdiri dan melakukan kegiatannya.

    Walaupun begitu, dengan hadirnya reformasi yang telah mengubah struktur sosial-politik, kelompok perempuan masih menjadi aktor, tetapi menjadi aktor yang berubah dari pasif menjadi aktif. Walaupun adanya tuntutan dari kelompok perempuan yang telah mengeluarkan kebijakan afirmatif, perjuangan perempuan masih berlika-liku untuk mencapai wilayah publik dan masih disepelekan untuk membawa perubahan kepada struktur sosial-politik yang ada.


Daftar Pustaka

Priyono, Herry B. 2003Anthony Giddens Suatu Pengantar. Yogyakarta.

Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Komunitas Bambu. Jakarta.

Tulisan ini juga diunggah di Kompasiana, Kelompok Perempuan Era Orde Baru dan Reformasi Halaman 1 - Kompasiana.com


Policy Paper Kebijakan Publik : Mewujudkan Pelayanan Publik yang Ramah Disabilitas


 

1.1 Pendahuluan

            Permasalahan mengenai disabilitas dalam pembangunan sering kali dimarjinalkan. Pengekslusifan tersebut sering kali merugikan kesempatan para penyandang disabilitas dalam berpartisipasi untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif. Hal ini mengakibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang penyandang disabilitas memiliki kualitas hidup yang rendah dikarenakan tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Perbaikan untuk melawan ketidaksetaraan ini pun diwujudkan dengan  memasukan pembangunan inklusif bagi para penyandang disabilitas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Perbaikan ini dilakukan demi merubah lingkungan yang tidak seimbang dalam proses pembangunan di suatu negara. Dengan adanya pembangunan inklusif, diharapkan ada perbaikan dalam tatanan ekonomi, sosial, maupun budaya di dalam pembangunan yang berkelanjutan (United Nations, 2016).

Salah satunya ialah mengenai kesempatan mengakses pelayanan publik secara nyaman. Kesempatan pelayanan publik yang diwadahi pemerintah pun kerap kali terbatas bagi para penyandang disabilitas. Situasi ini pun akhirnya merugikan kesempatan Negara dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dengan tidak mengikutsertakan para penyadang disabilitas untuk turut andil. Pelayanan publik merupakan salah satu fasilitas yang harus diberikan oleh warga negara dalam mewujudkan hak-hak yang mereka miliki. Pelayanan publik tersebut tentu wajib dipenuhi demi mewujudkan makna good governance itu sendiri. Fasilitas yang diberikan oleh negara merupakan jembatan Negara dalam memecahkan maupun memenuhi kebutuhan dan hak warga negaranya. Karakteristik pelayanan publik yang wajib diberikan ialah excellent service. Pelayanan ini diberikan sesuai dengan standar yang berada di dalam sebuah instansi pemerintahan (Sutopo, 2003).

Pelayanan publik sudah seharusnya mewujudkan kebijakan pelayanan maupun pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) demi kepentingan publik. Namun, sering kali temuan yang ada di lapangan ialah pelayanan publik tidak berorientasi untuk menangani permasalahan publik. Pelayanan yang diberikan pun tidak responsif terhadap para penyandang disabilitas. Padahal jika kita telisik lebih jauh, di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 telah menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama seperti para penyandang non-disabilitas lainnya. Nyatanya kebijakan tersebut pun belum dipenuhi sepenuhnya.

Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para penyandang disabilitas ataupun mendukung pembangunan inklusif pun tidak diwujudkan secara baik. Dari segi pelayanan maupun aksesibilitas para penyandang disabilitas pun belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Fasilitas seperti terminal, trotoar, tempat penyeberangan maupun toilet umum pun belum diberikan akses yang layak bagi para penyandang disabilitas.

Permasalahan yang lain pun muncul, salah satunya ialah kurang pahamnya penyandang disabilitas akan hak-hak yang seharusnya bisa diberikan Negara. Para penyandang disabilitas pun minim pengetahuan akan fasilitas pelayanan umum yang bisa mereka dapatkan seperti penyandang non-disabilitas lainnya. Selama ini pula, para penyandang disabilitas jarang sekali menuntut hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan secara nyata. Bahkan, terkesan lebih pasrah mengenai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Kendati demikian, peran dan partisipasi pemerintah dalam merubah pelayanan publik yang diskriminatif pun perlu dilakukan. Dengan ini pun pemerintah sedang mewujudkan pembangunan inklsuif dalam kebijakannya. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah pun harus memenuhi kebutuhan seluruh warga negaranya, termasuk penyandang disabilitas itu sendiri. Setiap pelayanan yang diberikan pun harus menjamin kesempatan yang sama untuk menghargai mereka yang selama ini hidup dibayang-bayang ketidaksetaraan. Dengan ini, pihak dari pemerintah pusat maupun daerah harus memahami bagaimana kebijakan yang tepat tanpa adanya diskriminasi di kalangan masyarakat. Pemerintah pun harus menggandeng organisasi sosial yang bersangkutan dalam guna mewujudkan pembangunan inklusif.

 

1.2 Kajian Teoritik

1.2.1 Penyandang Disabilitas

Definisi mengenai penyandang disabilitas pun memiliki definisi yang beragam di dalam bidang akademik. Disabilitas atau different ability memiliki makna yang mengacu kepada manusia dengan kemampuan yang berbeda. Pengucapan disabilitas digunakan untuk mengganti pelafalan dari “penyandang cacat” yang memiliki konotasi negatif. Di dalam teori Personnal Tragedy yang dikemukakan oleh Barnes pun mendefinisikan bahwa disabilitas merupakan kondisi tubuh yang berasal dari adanya kecacatan ataupun kelainan (Rofah, 2011). Teori ini sering disebut sebagai teori biomedis. Definisi lainnya di era kontemporer saat ini pun memiliki definisi yang berbeda, teori ini sering kali disebut sebagai teori biopsikososial. Teori ini menggabungkan dari teori biomedis yang berpusat kepada faktor kelainan (impairments). Namun, teori ini juga menambahkan faktor lainnya, seperti faktor attitudinal barries atau lingkungan fisik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan data statistik yang menunjukan bahwa penyandang disabilitas memiliki jumlah sebesar 15% dari populasi yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri  pun total para penyandang disabilitas menapai 36 juta atau setara dengan 15% dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Isu-isu mengenai penyandang disabilitas pun kerap kali dibicarakan dalam skala global. Indonesia sendiri pun telah meratifikasi konvensi internasional yang telah disetujui bersama melalui Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Konvenan tersebut diratifikasi di dalam UU No. 19 Tahun 2011, yang di dalamnya mengatur mengenai hak-hak yang harus dipenuhi negara terpihak. Sebelumnya, Indonesia pun sudah memiliki UU yang mengatur mengenai disabilitas, yaitu UU No. 4 Tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Namun UU tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Sehingga, dilakukan revisi yang terbaru dalam UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

Kebijakan tersebut dirubah dikarenakan penggunaan kata cacat yang terkesan diskriminatif. Kata cacat yang berada di “penyandang cacat” dinilai sebagai kata yang diinterpretasikan sebagai suatu hal yang tidak sempurna. Dengan demikian, kata cacat pun telah mekonstruksi para penyandang disabilitas sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang “tidak sempurna”. Tuntutan pun mulai berdatangan demi memanusiakan para penyandang disabilitas, dengan tujuan untuk merekonstruksi ulang mengenai istilah yang dilabelkan kepada para penyandang disabilitas. Penggantian kata “cacat” tersebut diharapkan bisa merubah kacamata masyarakat lainnya untuk tidak memandang secara diskriminatif. Dengan adanya kata different ability, diharapkan masyarakat lainnya menyadari bahwa semua orang sama, hanya saja mereka mengartikulasikan sesuatu dengan berbeda. Jika kita bisa berkomunikasi dengan menggunakan mulut kita, para penyandang disabilitas pun juga bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan alat bantu. Penyebutan tersebut pun berganti menjadi difabel – dimana tidak memiliki konotasi negatif. Dengan penyebutan tersebut, para penyandang disabilitas dianggap hanya memiliki perbedaan dalam kemampuan, bukan tidak memiliki kemampuan sama sekali. Yang mereka butuhkan hanyalah alat pembantu agar bisa melakukan aktivitasnya (Fakih, 2011). Namun istilah difabel pun juga menuai kontroversi, kata tersebut dinilai sebagai orang yang sakit. Difabel dianggap sebagai suatu yang mengalami kelemahan secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan tersebutlah yang mengakibatkan penurunan akan kualitas di dalam hidupnya.

Paradigma lainnya yang muncul di kalangan penyandang disabilitas ialah berasal dari perkembangan civil rights. Para penyandang disabilitas merupakan bagian yang berada di dalam masyarakat – terlahir sama seperti yang lain dan hidup secara wajar. Paradigma ini berkaitan dengan persoalan sosial – yang menyangkut ekonomi, kebijakan, hingga sumberdaya. Kemunculan paradigma satu ini tidak langsung menghapus paradigma penyandang disabilitas lainnya, namun paradigma tersebut menggambarkan fenomena difabel sebagai suatu yang bisa dilihat dengan sudut pandang apapun. Keberadaan dari para penyandang disabilitas pun tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi maupun memarjinalkan keberadaan mereka, justru hal ini yang seharusnya menjadi pemantik untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif.

Di dalam kebijakan yang berada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, maupun sensorik dengan jangka waktu yang lama. Sehingga, para penyandang disabilitas pun mengalami hambatan dalam berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara. Kendati demikian, aksesibilitas pun diperlukan guna memenuhi hak-hak yang dimiliki bagi setiap warga negara. Di dalam pasal 1 ayat 8 telah menyebutkan bahwa aksesibilitas telah diberikan guna memanifestasikan kesetaraan. Kesetaraan tersebut pun diwujudkan dalam kesamaan kesempatan melalui pemberian peluang ataupun akses secara adil.

Saat pergeseran definisi tersebut pun bertransisi menjadi difabel, maka pola pikir pemerintah pun seharusnya berubah. Para penyandang disabilitas bukanlah orang yang memiliki kecacatan dan dari kecacatan tersebut harus diakomodasi melalui pelayanan. Akan tetapi, para penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang berbeda dan hal tersebut yang harus diakomodasi oleh pemerintah.

1.2.2 Pelayanan Publik

Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan kebijakan yang tertera di dalam undang-undang. Pelayanan tersebut diberikan kepada setiap warga negara berupa barang, jasa, ataupun administratif. Pelayanan digunakan untuk menyediakan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009, harus memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif, partisipatif, dan fasilitas bagi para penyandang disabilitas. Kendati demikian, pengimplementasian pelayanan publik sudah seyogianya menganut keadilan bagi warga negaranya, termasuk para penyandang disabilitas.

Pelayanan sendiri memiliki definisi sebagai aktivitas yang dilakukan dengan orientasi tertentu dan memiliki tingkat kepuasan yang harus dirasakan penerima (Moenir, 2002). Pelayanan pun berkorelasi dengan kebutuhan dari para penerima. Mengenai pelayanan publik sendiri, pelayanan publik memiliki orientasi untuk memenuhi kepuasan dari warga negaranya. Dengan demikian, asas-asas yang perlu dipenuhi dalam pelayanan publik berkorelasi dengan transparansi, keseimbangan antara hak maupun kewajiban, akuntabilitas, keamanan hak, kondisional, serta partisipatif. Pelayanan publik pun juga memiliki prinsip yang bekutat kepada (1) kesederhanaan; (2) kepastian waktu; (3) akurasi; (4) kejelasan; (5) keamanan; (6) kenyamanan; (7) fasilitas sarana prasarana yang lengkap; (8) kedisplinan, sopan, dan ramah; (9) kemudahan akses dan; (10) tanggung jawab. Yang terakhir – pelayanan publik memiliki standar yang harus ditaati, meliputi (1) prosedur pelayanan; (2) kompetensi petugas; (3) waktu penyelesaian; (4) biaya pelayanan; (5) produk pelayanan dan; (6) sarana dan prasarana. Asas, prinsip, maupun standar pelayanan publik harus ditaati dan diberikan kepada masyarakat. Ketiga hal tersebut pun menjadi pedoman hingga indikator untuk mengevaluasi kinerja dari suatu pelayanan publik di suatu instansi.

Sedangkan publik memiliki pengertian sebagai masyarakat umum itu sendiri. Masyarakat yang harus diatur dan dilayani oleh Negara, selain menjadi administrator – Negara juga bekerja sebagai penguasa yang membentuk regulasi hukum negaranya. Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu hal yang menyangkut dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat umum. Pelayanan tersebut akan ditujukan kepada mereka yang memiliki kebutuhan ataupun kepentingan sesuai dengan aturan yang telah berlaku (Joko, 2001).

Aktivitas yang diberikan oleh pemerintah dalam pelayanan publik kerap kali dinilai kurang dalam memenuhi kepuasan hingga kebutuhan dari masyarakat. Kendati demikian, diperlukan sebuah manajemen pelayanan publik guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu pelayanan. Kegiatan manajemen publik ini pun merupakan kegiatan yang dilakukan guna merubah sebuah rencana menjadi kenyataan, berupa sebuah produksi, sikap ataupun perbuatan (Moenir, 2002). Kegiatan manajemen diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Kendati demikian, sebuah manajemen pelayanan publik memiliki tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu memenuhi kepuasan dari publik. Walaupun, tujuan dari kegiatan tersebut terlihat mudah – akan tetapi, tujuan tersebut memerlukan keseriusan untuk mencapainya.

Selain itu, pelayanan merupakan suatu aktivitas yang memerlukan sikap positif dan diberikan kepada penerima atau pelanggan. Sikap yang perlu diperhatikan dalam pelayanan ialah seperti senyum, gerak gerik, cara berbusana, kecekatan dan bagaimana cara berkomunikasi kepada pelanggan. Hal ini tentu akan memberikan kesan yang positif dan memberikan kepuasan tersendiri terhadap pelayanan yang diberikan (Soeling, 2007). Namun, hal tersebut merupakan sebagian dari kecil yang perlu dilakukan. Bagian yang terpenting dalam pelayanan publik ialah bagaimana merancang sistematis yang baik dengan tujuan memudahkan komunikasi antara pelayan dan pelanggan (Sewel, 1997).

Hal lainnya yang berkaitan dengan pelayanan ialah bagaimana kualitas dari pelayanan tersebut. Melihat bahwa organisasi sektor publik lebih banyak bergerak kepada bidang jasa – kendati demikian, kualitas dari pelayanan menjadi sebuah kunci, seperti kualitas dalam memenuhi harapan konsumen, kualitas dalam pengaplikasian untuk produk maupun jasa (Goetsch, 1997). Untuk menciptakan kualitas pelayanan yang prima atau excelence service, diperlukan tiga hal, yaitu (1) kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan dari pelanggan hingga karakteristik pelanggan; (2) pengembangan database yang akurat; (3) memanfaatkan informasi yang berasal dari riset pasar.

Dengan demikian, diharapkan melalui pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, akan memberikan pelayanan yang bisa membuaskan kebutuhan hingga keinginan masyarakat itu sendiri, termasuk mereka yang berada di kelompok rentan. Dengan adanya kebijakan yang sudah berlaku, maka pemerintah harus berperan secara andil dalam memberikan solusi maupun tawaran kepada penyandang disabilitas guna membangun pembangunan hingga kebijakan yang inklusif. Dengan cara memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif dan bisa dimanfaatkan secara luas. Misalnya, seperti tuna netra yang membutuhkan braile ataupun komputer suara dalam pelayanannya. Hingga, penyediaan pelayanan umum seperti transportasi, halte, ataupun jalan penyeberangan yang ramah bagi para penyandang disabilitas. 

 

1.3 Memenuhi Pelayanan Publik yang Ramah bagi Para Penyandang Disabilitas

Banyaknya permasalahan yang menyangkut para penyandang disabilitas, salah satunya ialah mengenai pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Maka, tidak heran pula permasalahan ini pun menjadi isu yang krusial hingga dijadikan salah satu komitmen di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada tahun 2015-2019 lalu. Komitmen yang tertera di dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tersebut pun didukung oleh UU mengenai pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang diselenggarakan dengan pelayanan yang adil dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Pelayanan publik merupakan salah satu hak yang perlu dipenuhi oleh Pemerintah diantara 23 hak yang dimiliki para penyandang disabilitas.

Sayangnya implementasi kebijakan tersebut pun belum berjalan baik sebagaimana semestinya. Kebijakan tersebut hanya berkutat kepada prinsip umum, tidak bergerak secara spesifik. Di dalam peraturan Kementerian Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2014 mengenai Pedoman Standar Pelayanan pun tidak menunjukkan semangat non-diskriminasi maupun pelayanan khusus kepada kelompok rentan. Dengan demikian, masih sering kali ditemukan pelayanan yang tidak ramah terhadap disabilitas. Seperti, yang kerap kali terjadi ialah tidak ada Aparatur Sipil Negara (ASN) di suatu instansi yang bisa berkomunikasi bahasa isyarat. Akhirnya, pelayanan pun terhambat dikarenakan kesulitan menerjemahkan para penyandang disabilitas tuna rungu maupun wicara. Dengan ini, para penyandang disabilitas pun kesusahan untuk mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini tentunya menjadi refleksi bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam membenahi fasilitas pelayanan publik yang ramah bagi para penyandang disabilitas.

Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik sudah seharusnya menyediakan hingga melakukan sosialisasi maupun edukasi mengenai pelayanan publik yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas. Sosialisasi maupun edukasi menjadi suatu hal yang penting dalam dunia pelayanan publik; mengingat masih banyak minimnya pengetahuan dari internal pemerintah itu sendiri mengenai pelayanan yang ramah disabilitas.

Permasalahan yang sering terjadi di dalam dunia pelayanan publik ialah pelayanan di bidang pendidikan maupun kesehatan. Melihat UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, telah menyatakan kewajiban akan menyelenggarakan layanan pendidikan khusus dan setara bagi para penyandang disabilitas. Kebijakan ini pun diperkuat lagi melalui Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa setiap tingkatan pendidikan (TK-Perguruan Tinggi) harus menerima peserta didik tanpa adanya diskriminasi secara fisik maupun mental. Namun, realitas yang terjadi ialah para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49% (BPS, 2015). Dengan demikian, pendidikan inklusi perlu diterapkan lebih serius lagi. Mengingat pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang tidak memarjinalkan para penyandang disabilitas dengan cara menempatkan mereka seperti teman sebayanya di sekolah reguler.

Pendidikan inklusi memang telah dilakukan uji coba semenjak tahun 2001, namun menjumpai permasalahan di dalamnya. Permasalahan di dalam pendidikan inklusif ialah (1) minimnya pengajar pendamping khusus (GPK); (2) minimnya kompetensi guru dalam menangani murid penyandang disabilitas; (3) kurangnya pelatihan mengenai pendidikan inklusi; (4) guru mengalami kesulitas dalam mengajar dan murid pun susah mengikuti pelajaran; dan (5) program, administrasi, dan SDM yang belum siap menampung pendidikan inklusi. Serta, masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh pengimplementasian dari pelayanan pendidikan inklsuif.

Persoalan lainnya yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah pelayanan kesehatan. Permasalahan itu sering berkaitan dengan akses yang diberikan oleh puskesmas hingga rumah sakit. Tantangan yang sering dihadapi ialah para penyandang disabilitas mengalami kesusahan untuk mengakses pelayanan tersebut. seperti, minimnya fasilitas yang mendukung kenyamanan para penyandang disabilitas – lantai licin, koridor yang sempit, petunjuk arah yang tidak bisa dinikmati oleh tuna netra. Minimnya petugas pelayanan yang bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas; akibatnya mereka pun kesulitan untuk mengartikulasikan kebutuhannya. Kemudian, permasalahan yang paling kompleks ialah ketidakmampuan mendatangi fasilitas kesehatan yang mendukung bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil. Ketika mereka membutuhkan pengobatan hingga terapi, mereka pun sulit datang untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Pelayanan yang paling dimungkinkan untuk didapatkan ialah pelayanan dari rumah (homecare services). Pelayanan yang diberikan dengan mengunjungi rumah penyangdang disabilitas sebagai alternatif untuk meringankan beban mereka.

 

1.4 Rekomendasi Kebijakan

Melihat permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh para penyandang disabilitas – dengan demikian, diperlukan terobosan baru guna mewujudkan pelayanan publik yang ramah disabilitas guna mewujudkan pembangunan secara inklusif. Berikut beberapa rekomendasi yang diberikan guna menyukseskan kebijakan yang ramah bagi disabilitas terhadap pembangunan inklusif.

1.      Sosialisasi dan Edukasi kepada Penyelenggara Pelayanan Publik. Melihat minimnya pengetahuan tentang disabilitas dalam pelayanan publik; melakukan sosialisasi hingga edukasi mengenai pelayanan publik yang ramah terhadap disabilitas perlu dilakukan. Para calon Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja melayani masyarakat – sudah seharusnya memiliki kompetensi untuk mengerti mengenai pelayanan publik yang inklusif. Kendati demikian, diperlukan Sekolah Inklsuif Pelayanan Publik (SIP PUBLIK)  – dengan tujuan agar para tenaga kerja yang bekerja di sektor publik bisa melayani tanpa tidak mengerti bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas. Sosialisasi dan edukasi mengenai pelayanan publik perlu dilakukan, apalagi mengingat sudah terbitnya kebijakan yang mengatur mengenai disabilitas. Selain itu, sektor publik pun harus memastikan adanya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat secara holistik; dari yang awam hingga yang sudah teredukasi. Dengan demikian, masyarakat pun semakin kritis dan partisipatif dalam isu-isu disabilitas; mengingat disabilitas memiliki hak yang sama seperti non-disabilitas lainnya. Masyarakat pun bisa mengingatkan kepada mereka yeng memiliki kerabat penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya dari negara. Selain itu, tidak pula lupa untuk melakukan evaluasi secara berkala melalui forum dan survei secara publik.

 

2.      Aksesibilitas melalui Sarana dan Prasana yang Ramah Disabilitas. Menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap para penyandang disabilitas. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Permen Umum No. 30 Tahun 2006 – ada sarana prasarana yang perlu dipenuhi secara fisik; bangunan, lingkungan, ruang terbuka, dan penghijau, hingga tempat yang sering dikunjungi para penyandang disabilitas. Dalam peraturan tersebut – menekankan kepada (1) keselamatan; (2) kegunaan; dan (3) kemandirian. Contohnya, pembangunan fisik di dalam Perguruan Tinggi (PT) Negeri maupun Swasta ialah aksesibilitas yang meliputi, (1) ram atau tangga landai; (2) ruangan yang dilengkapi informasi secara braille; (3) toilet khusus disabilitas; (4) lift atau eskalator; (5) pintu otomatis dengan sensor; (6) keamanan lingkungan; (7) identitas suatu gedung; dan (8) parkir khusus (Andayani, 2010). Kemudian, aksesibilitas nonfisik yanng perlu diperhatikan pula meliputi, (1) apakah informasi yang disebarluaskan bisa dipahami para penyandang disabilitas; (2) memodifikasi media informasi dengan huruf yang besar; dan (3) communication support.

 

3.      Mewujudkan Pendidikan yang Inklusif. Pendidikan secara inklusif perlu diperlakukan dengan memasukkan konsep kewajiban Guru Pendamping Khusus (GPK) yang perlu dimiliki bagi setiap guru maupun tenaga pengajar. Menciptakan kurikulum yang secara khusus membahas mengenai pendidikan inklusif. Selain itu, suatu institusi pendidikan pun perlu membentuk Unit Layanan Disabilitas – seperti menyediakan pendamping bagi para penyandang disabilitas.

 

4.      Memaksimalkan Pendidikan Informal bagi Penyandang Disabilitas. Mengingat bahwasanya para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49%. Pendidikan non formal/informal perlu dimaksimalkan dan dikembangkan lebih jauh lagi untuk menyiapkan mereka memasuki dunia kerja. Kementeriaan Pendidikan, Sosial dan Tenaga kerja perlu berkolaborasi guna mempersiapkan mereka siap kerja. Dengan menyediakan pelatihan persiapan karier sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan saat ini. Pemerintah pun perlu bekerja sama dengan organisasi maupun perusahaan, seperti Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia hingga Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia – yang memiliki platform aplikasi untuk menunjang kemandirian bagi para penyandang disabilitas. 

 

5.      Pelayanan Kesehatan Kolaboratif. Pelayanan kesehatan yang kolaboratif perlu dilakukan antara kota, kecamatan, hingga kelurahan. Program yang bisa dimaksimalkan ialah melakukan kerja sama yang sinergis, apabila pelayanan dari tingkat bawah tidak memadai. Kemudian, menyediakan sarana dan prasana yang ramah disabilitas – seperti ramp khusus bagi kursi roda, menyediakan hand rail, loket antrean yang adaptif, dan tulisan berjalan. Tidak lupa juga untuk menyediakan pelayanan kunjungan secara langsung, tanpa harus datang ke rumah sakit (homecare services).

 

Daftar Pustaka

Andayani, Ro’fah dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif: Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel. Yogyakarta: PSLD UIN Sunan Kalijaga, Pertuni, ICEVI dan Nippon Foundation.

Badan Pusat Statistik. 2015. www.bps.go.id.

Moenir. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi. Aksara.

Rofah, dkk. 2011. Konsep Dasar Disabilitas dan Pendidikan Inklusif, Disabilitas dan Pendidikan Tinggi: Bunga Rampai Penelitian. Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga UIN Sunan Kalijaga

Sewel, Carl dan Paul B. Brown. 1997. Pelanggan Seumur Hidup, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Tangga.

Soeling, Pantius D. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung jawab social perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis dan Birokrasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan

Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Ratifikasi Konvensi Hak

Penyandang Disabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Penyandang Disabilitas.

 

Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi

  Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi   Sandiaga Uno menyebarkan optimisme peluang bisnis Usaha Mikro, Kecil...