Menulis Sosial-Politik || Menulis Tentang Entertainment, Mostly K-industry

Kamis, 21 Oktober 2021

Policy Paper Kebijakan Publik : Mewujudkan Pelayanan Publik yang Ramah Disabilitas


 

1.1 Pendahuluan

            Permasalahan mengenai disabilitas dalam pembangunan sering kali dimarjinalkan. Pengekslusifan tersebut sering kali merugikan kesempatan para penyandang disabilitas dalam berpartisipasi untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif. Hal ini mengakibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang penyandang disabilitas memiliki kualitas hidup yang rendah dikarenakan tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Perbaikan untuk melawan ketidaksetaraan ini pun diwujudkan dengan  memasukan pembangunan inklusif bagi para penyandang disabilitas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Perbaikan ini dilakukan demi merubah lingkungan yang tidak seimbang dalam proses pembangunan di suatu negara. Dengan adanya pembangunan inklusif, diharapkan ada perbaikan dalam tatanan ekonomi, sosial, maupun budaya di dalam pembangunan yang berkelanjutan (United Nations, 2016).

Salah satunya ialah mengenai kesempatan mengakses pelayanan publik secara nyaman. Kesempatan pelayanan publik yang diwadahi pemerintah pun kerap kali terbatas bagi para penyandang disabilitas. Situasi ini pun akhirnya merugikan kesempatan Negara dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dengan tidak mengikutsertakan para penyadang disabilitas untuk turut andil. Pelayanan publik merupakan salah satu fasilitas yang harus diberikan oleh warga negara dalam mewujudkan hak-hak yang mereka miliki. Pelayanan publik tersebut tentu wajib dipenuhi demi mewujudkan makna good governance itu sendiri. Fasilitas yang diberikan oleh negara merupakan jembatan Negara dalam memecahkan maupun memenuhi kebutuhan dan hak warga negaranya. Karakteristik pelayanan publik yang wajib diberikan ialah excellent service. Pelayanan ini diberikan sesuai dengan standar yang berada di dalam sebuah instansi pemerintahan (Sutopo, 2003).

Pelayanan publik sudah seharusnya mewujudkan kebijakan pelayanan maupun pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) demi kepentingan publik. Namun, sering kali temuan yang ada di lapangan ialah pelayanan publik tidak berorientasi untuk menangani permasalahan publik. Pelayanan yang diberikan pun tidak responsif terhadap para penyandang disabilitas. Padahal jika kita telisik lebih jauh, di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 telah menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama seperti para penyandang non-disabilitas lainnya. Nyatanya kebijakan tersebut pun belum dipenuhi sepenuhnya.

Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para penyandang disabilitas ataupun mendukung pembangunan inklusif pun tidak diwujudkan secara baik. Dari segi pelayanan maupun aksesibilitas para penyandang disabilitas pun belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Fasilitas seperti terminal, trotoar, tempat penyeberangan maupun toilet umum pun belum diberikan akses yang layak bagi para penyandang disabilitas.

Permasalahan yang lain pun muncul, salah satunya ialah kurang pahamnya penyandang disabilitas akan hak-hak yang seharusnya bisa diberikan Negara. Para penyandang disabilitas pun minim pengetahuan akan fasilitas pelayanan umum yang bisa mereka dapatkan seperti penyandang non-disabilitas lainnya. Selama ini pula, para penyandang disabilitas jarang sekali menuntut hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan secara nyata. Bahkan, terkesan lebih pasrah mengenai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Kendati demikian, peran dan partisipasi pemerintah dalam merubah pelayanan publik yang diskriminatif pun perlu dilakukan. Dengan ini pun pemerintah sedang mewujudkan pembangunan inklsuif dalam kebijakannya. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah pun harus memenuhi kebutuhan seluruh warga negaranya, termasuk penyandang disabilitas itu sendiri. Setiap pelayanan yang diberikan pun harus menjamin kesempatan yang sama untuk menghargai mereka yang selama ini hidup dibayang-bayang ketidaksetaraan. Dengan ini, pihak dari pemerintah pusat maupun daerah harus memahami bagaimana kebijakan yang tepat tanpa adanya diskriminasi di kalangan masyarakat. Pemerintah pun harus menggandeng organisasi sosial yang bersangkutan dalam guna mewujudkan pembangunan inklusif.

 

1.2 Kajian Teoritik

1.2.1 Penyandang Disabilitas

Definisi mengenai penyandang disabilitas pun memiliki definisi yang beragam di dalam bidang akademik. Disabilitas atau different ability memiliki makna yang mengacu kepada manusia dengan kemampuan yang berbeda. Pengucapan disabilitas digunakan untuk mengganti pelafalan dari “penyandang cacat” yang memiliki konotasi negatif. Di dalam teori Personnal Tragedy yang dikemukakan oleh Barnes pun mendefinisikan bahwa disabilitas merupakan kondisi tubuh yang berasal dari adanya kecacatan ataupun kelainan (Rofah, 2011). Teori ini sering disebut sebagai teori biomedis. Definisi lainnya di era kontemporer saat ini pun memiliki definisi yang berbeda, teori ini sering kali disebut sebagai teori biopsikososial. Teori ini menggabungkan dari teori biomedis yang berpusat kepada faktor kelainan (impairments). Namun, teori ini juga menambahkan faktor lainnya, seperti faktor attitudinal barries atau lingkungan fisik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan data statistik yang menunjukan bahwa penyandang disabilitas memiliki jumlah sebesar 15% dari populasi yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri  pun total para penyandang disabilitas menapai 36 juta atau setara dengan 15% dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Isu-isu mengenai penyandang disabilitas pun kerap kali dibicarakan dalam skala global. Indonesia sendiri pun telah meratifikasi konvensi internasional yang telah disetujui bersama melalui Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Konvenan tersebut diratifikasi di dalam UU No. 19 Tahun 2011, yang di dalamnya mengatur mengenai hak-hak yang harus dipenuhi negara terpihak. Sebelumnya, Indonesia pun sudah memiliki UU yang mengatur mengenai disabilitas, yaitu UU No. 4 Tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Namun UU tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Sehingga, dilakukan revisi yang terbaru dalam UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

Kebijakan tersebut dirubah dikarenakan penggunaan kata cacat yang terkesan diskriminatif. Kata cacat yang berada di “penyandang cacat” dinilai sebagai kata yang diinterpretasikan sebagai suatu hal yang tidak sempurna. Dengan demikian, kata cacat pun telah mekonstruksi para penyandang disabilitas sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang “tidak sempurna”. Tuntutan pun mulai berdatangan demi memanusiakan para penyandang disabilitas, dengan tujuan untuk merekonstruksi ulang mengenai istilah yang dilabelkan kepada para penyandang disabilitas. Penggantian kata “cacat” tersebut diharapkan bisa merubah kacamata masyarakat lainnya untuk tidak memandang secara diskriminatif. Dengan adanya kata different ability, diharapkan masyarakat lainnya menyadari bahwa semua orang sama, hanya saja mereka mengartikulasikan sesuatu dengan berbeda. Jika kita bisa berkomunikasi dengan menggunakan mulut kita, para penyandang disabilitas pun juga bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan alat bantu. Penyebutan tersebut pun berganti menjadi difabel – dimana tidak memiliki konotasi negatif. Dengan penyebutan tersebut, para penyandang disabilitas dianggap hanya memiliki perbedaan dalam kemampuan, bukan tidak memiliki kemampuan sama sekali. Yang mereka butuhkan hanyalah alat pembantu agar bisa melakukan aktivitasnya (Fakih, 2011). Namun istilah difabel pun juga menuai kontroversi, kata tersebut dinilai sebagai orang yang sakit. Difabel dianggap sebagai suatu yang mengalami kelemahan secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan tersebutlah yang mengakibatkan penurunan akan kualitas di dalam hidupnya.

Paradigma lainnya yang muncul di kalangan penyandang disabilitas ialah berasal dari perkembangan civil rights. Para penyandang disabilitas merupakan bagian yang berada di dalam masyarakat – terlahir sama seperti yang lain dan hidup secara wajar. Paradigma ini berkaitan dengan persoalan sosial – yang menyangkut ekonomi, kebijakan, hingga sumberdaya. Kemunculan paradigma satu ini tidak langsung menghapus paradigma penyandang disabilitas lainnya, namun paradigma tersebut menggambarkan fenomena difabel sebagai suatu yang bisa dilihat dengan sudut pandang apapun. Keberadaan dari para penyandang disabilitas pun tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi maupun memarjinalkan keberadaan mereka, justru hal ini yang seharusnya menjadi pemantik untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif.

Di dalam kebijakan yang berada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, maupun sensorik dengan jangka waktu yang lama. Sehingga, para penyandang disabilitas pun mengalami hambatan dalam berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara. Kendati demikian, aksesibilitas pun diperlukan guna memenuhi hak-hak yang dimiliki bagi setiap warga negara. Di dalam pasal 1 ayat 8 telah menyebutkan bahwa aksesibilitas telah diberikan guna memanifestasikan kesetaraan. Kesetaraan tersebut pun diwujudkan dalam kesamaan kesempatan melalui pemberian peluang ataupun akses secara adil.

Saat pergeseran definisi tersebut pun bertransisi menjadi difabel, maka pola pikir pemerintah pun seharusnya berubah. Para penyandang disabilitas bukanlah orang yang memiliki kecacatan dan dari kecacatan tersebut harus diakomodasi melalui pelayanan. Akan tetapi, para penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang berbeda dan hal tersebut yang harus diakomodasi oleh pemerintah.

1.2.2 Pelayanan Publik

Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan kebijakan yang tertera di dalam undang-undang. Pelayanan tersebut diberikan kepada setiap warga negara berupa barang, jasa, ataupun administratif. Pelayanan digunakan untuk menyediakan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009, harus memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif, partisipatif, dan fasilitas bagi para penyandang disabilitas. Kendati demikian, pengimplementasian pelayanan publik sudah seyogianya menganut keadilan bagi warga negaranya, termasuk para penyandang disabilitas.

Pelayanan sendiri memiliki definisi sebagai aktivitas yang dilakukan dengan orientasi tertentu dan memiliki tingkat kepuasan yang harus dirasakan penerima (Moenir, 2002). Pelayanan pun berkorelasi dengan kebutuhan dari para penerima. Mengenai pelayanan publik sendiri, pelayanan publik memiliki orientasi untuk memenuhi kepuasan dari warga negaranya. Dengan demikian, asas-asas yang perlu dipenuhi dalam pelayanan publik berkorelasi dengan transparansi, keseimbangan antara hak maupun kewajiban, akuntabilitas, keamanan hak, kondisional, serta partisipatif. Pelayanan publik pun juga memiliki prinsip yang bekutat kepada (1) kesederhanaan; (2) kepastian waktu; (3) akurasi; (4) kejelasan; (5) keamanan; (6) kenyamanan; (7) fasilitas sarana prasarana yang lengkap; (8) kedisplinan, sopan, dan ramah; (9) kemudahan akses dan; (10) tanggung jawab. Yang terakhir – pelayanan publik memiliki standar yang harus ditaati, meliputi (1) prosedur pelayanan; (2) kompetensi petugas; (3) waktu penyelesaian; (4) biaya pelayanan; (5) produk pelayanan dan; (6) sarana dan prasarana. Asas, prinsip, maupun standar pelayanan publik harus ditaati dan diberikan kepada masyarakat. Ketiga hal tersebut pun menjadi pedoman hingga indikator untuk mengevaluasi kinerja dari suatu pelayanan publik di suatu instansi.

Sedangkan publik memiliki pengertian sebagai masyarakat umum itu sendiri. Masyarakat yang harus diatur dan dilayani oleh Negara, selain menjadi administrator – Negara juga bekerja sebagai penguasa yang membentuk regulasi hukum negaranya. Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu hal yang menyangkut dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat umum. Pelayanan tersebut akan ditujukan kepada mereka yang memiliki kebutuhan ataupun kepentingan sesuai dengan aturan yang telah berlaku (Joko, 2001).

Aktivitas yang diberikan oleh pemerintah dalam pelayanan publik kerap kali dinilai kurang dalam memenuhi kepuasan hingga kebutuhan dari masyarakat. Kendati demikian, diperlukan sebuah manajemen pelayanan publik guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu pelayanan. Kegiatan manajemen publik ini pun merupakan kegiatan yang dilakukan guna merubah sebuah rencana menjadi kenyataan, berupa sebuah produksi, sikap ataupun perbuatan (Moenir, 2002). Kegiatan manajemen diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan publik. Kendati demikian, sebuah manajemen pelayanan publik memiliki tujuan dalam pelaksanaannya, yaitu memenuhi kepuasan dari publik. Walaupun, tujuan dari kegiatan tersebut terlihat mudah – akan tetapi, tujuan tersebut memerlukan keseriusan untuk mencapainya.

Selain itu, pelayanan merupakan suatu aktivitas yang memerlukan sikap positif dan diberikan kepada penerima atau pelanggan. Sikap yang perlu diperhatikan dalam pelayanan ialah seperti senyum, gerak gerik, cara berbusana, kecekatan dan bagaimana cara berkomunikasi kepada pelanggan. Hal ini tentu akan memberikan kesan yang positif dan memberikan kepuasan tersendiri terhadap pelayanan yang diberikan (Soeling, 2007). Namun, hal tersebut merupakan sebagian dari kecil yang perlu dilakukan. Bagian yang terpenting dalam pelayanan publik ialah bagaimana merancang sistematis yang baik dengan tujuan memudahkan komunikasi antara pelayan dan pelanggan (Sewel, 1997).

Hal lainnya yang berkaitan dengan pelayanan ialah bagaimana kualitas dari pelayanan tersebut. Melihat bahwa organisasi sektor publik lebih banyak bergerak kepada bidang jasa – kendati demikian, kualitas dari pelayanan menjadi sebuah kunci, seperti kualitas dalam memenuhi harapan konsumen, kualitas dalam pengaplikasian untuk produk maupun jasa (Goetsch, 1997). Untuk menciptakan kualitas pelayanan yang prima atau excelence service, diperlukan tiga hal, yaitu (1) kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan dari pelanggan hingga karakteristik pelanggan; (2) pengembangan database yang akurat; (3) memanfaatkan informasi yang berasal dari riset pasar.

Dengan demikian, diharapkan melalui pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, akan memberikan pelayanan yang bisa membuaskan kebutuhan hingga keinginan masyarakat itu sendiri, termasuk mereka yang berada di kelompok rentan. Dengan adanya kebijakan yang sudah berlaku, maka pemerintah harus berperan secara andil dalam memberikan solusi maupun tawaran kepada penyandang disabilitas guna membangun pembangunan hingga kebijakan yang inklusif. Dengan cara memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif dan bisa dimanfaatkan secara luas. Misalnya, seperti tuna netra yang membutuhkan braile ataupun komputer suara dalam pelayanannya. Hingga, penyediaan pelayanan umum seperti transportasi, halte, ataupun jalan penyeberangan yang ramah bagi para penyandang disabilitas. 

 

1.3 Memenuhi Pelayanan Publik yang Ramah bagi Para Penyandang Disabilitas

Banyaknya permasalahan yang menyangkut para penyandang disabilitas, salah satunya ialah mengenai pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Maka, tidak heran pula permasalahan ini pun menjadi isu yang krusial hingga dijadikan salah satu komitmen di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada tahun 2015-2019 lalu. Komitmen yang tertera di dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tersebut pun didukung oleh UU mengenai pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang diselenggarakan dengan pelayanan yang adil dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Pelayanan publik merupakan salah satu hak yang perlu dipenuhi oleh Pemerintah diantara 23 hak yang dimiliki para penyandang disabilitas.

Sayangnya implementasi kebijakan tersebut pun belum berjalan baik sebagaimana semestinya. Kebijakan tersebut hanya berkutat kepada prinsip umum, tidak bergerak secara spesifik. Di dalam peraturan Kementerian Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2014 mengenai Pedoman Standar Pelayanan pun tidak menunjukkan semangat non-diskriminasi maupun pelayanan khusus kepada kelompok rentan. Dengan demikian, masih sering kali ditemukan pelayanan yang tidak ramah terhadap disabilitas. Seperti, yang kerap kali terjadi ialah tidak ada Aparatur Sipil Negara (ASN) di suatu instansi yang bisa berkomunikasi bahasa isyarat. Akhirnya, pelayanan pun terhambat dikarenakan kesulitan menerjemahkan para penyandang disabilitas tuna rungu maupun wicara. Dengan ini, para penyandang disabilitas pun kesusahan untuk mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini tentunya menjadi refleksi bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam membenahi fasilitas pelayanan publik yang ramah bagi para penyandang disabilitas.

Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik sudah seharusnya menyediakan hingga melakukan sosialisasi maupun edukasi mengenai pelayanan publik yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas. Sosialisasi maupun edukasi menjadi suatu hal yang penting dalam dunia pelayanan publik; mengingat masih banyak minimnya pengetahuan dari internal pemerintah itu sendiri mengenai pelayanan yang ramah disabilitas.

Permasalahan yang sering terjadi di dalam dunia pelayanan publik ialah pelayanan di bidang pendidikan maupun kesehatan. Melihat UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, telah menyatakan kewajiban akan menyelenggarakan layanan pendidikan khusus dan setara bagi para penyandang disabilitas. Kebijakan ini pun diperkuat lagi melalui Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa setiap tingkatan pendidikan (TK-Perguruan Tinggi) harus menerima peserta didik tanpa adanya diskriminasi secara fisik maupun mental. Namun, realitas yang terjadi ialah para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49% (BPS, 2015). Dengan demikian, pendidikan inklusi perlu diterapkan lebih serius lagi. Mengingat pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang tidak memarjinalkan para penyandang disabilitas dengan cara menempatkan mereka seperti teman sebayanya di sekolah reguler.

Pendidikan inklusi memang telah dilakukan uji coba semenjak tahun 2001, namun menjumpai permasalahan di dalamnya. Permasalahan di dalam pendidikan inklusif ialah (1) minimnya pengajar pendamping khusus (GPK); (2) minimnya kompetensi guru dalam menangani murid penyandang disabilitas; (3) kurangnya pelatihan mengenai pendidikan inklusi; (4) guru mengalami kesulitas dalam mengajar dan murid pun susah mengikuti pelajaran; dan (5) program, administrasi, dan SDM yang belum siap menampung pendidikan inklusi. Serta, masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh pengimplementasian dari pelayanan pendidikan inklsuif.

Persoalan lainnya yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah pelayanan kesehatan. Permasalahan itu sering berkaitan dengan akses yang diberikan oleh puskesmas hingga rumah sakit. Tantangan yang sering dihadapi ialah para penyandang disabilitas mengalami kesusahan untuk mengakses pelayanan tersebut. seperti, minimnya fasilitas yang mendukung kenyamanan para penyandang disabilitas – lantai licin, koridor yang sempit, petunjuk arah yang tidak bisa dinikmati oleh tuna netra. Minimnya petugas pelayanan yang bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas; akibatnya mereka pun kesulitan untuk mengartikulasikan kebutuhannya. Kemudian, permasalahan yang paling kompleks ialah ketidakmampuan mendatangi fasilitas kesehatan yang mendukung bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil. Ketika mereka membutuhkan pengobatan hingga terapi, mereka pun sulit datang untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Pelayanan yang paling dimungkinkan untuk didapatkan ialah pelayanan dari rumah (homecare services). Pelayanan yang diberikan dengan mengunjungi rumah penyangdang disabilitas sebagai alternatif untuk meringankan beban mereka.

 

1.4 Rekomendasi Kebijakan

Melihat permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh para penyandang disabilitas – dengan demikian, diperlukan terobosan baru guna mewujudkan pelayanan publik yang ramah disabilitas guna mewujudkan pembangunan secara inklusif. Berikut beberapa rekomendasi yang diberikan guna menyukseskan kebijakan yang ramah bagi disabilitas terhadap pembangunan inklusif.

1.      Sosialisasi dan Edukasi kepada Penyelenggara Pelayanan Publik. Melihat minimnya pengetahuan tentang disabilitas dalam pelayanan publik; melakukan sosialisasi hingga edukasi mengenai pelayanan publik yang ramah terhadap disabilitas perlu dilakukan. Para calon Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja melayani masyarakat – sudah seharusnya memiliki kompetensi untuk mengerti mengenai pelayanan publik yang inklusif. Kendati demikian, diperlukan Sekolah Inklsuif Pelayanan Publik (SIP PUBLIK)  – dengan tujuan agar para tenaga kerja yang bekerja di sektor publik bisa melayani tanpa tidak mengerti bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas. Sosialisasi dan edukasi mengenai pelayanan publik perlu dilakukan, apalagi mengingat sudah terbitnya kebijakan yang mengatur mengenai disabilitas. Selain itu, sektor publik pun harus memastikan adanya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat secara holistik; dari yang awam hingga yang sudah teredukasi. Dengan demikian, masyarakat pun semakin kritis dan partisipatif dalam isu-isu disabilitas; mengingat disabilitas memiliki hak yang sama seperti non-disabilitas lainnya. Masyarakat pun bisa mengingatkan kepada mereka yeng memiliki kerabat penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya dari negara. Selain itu, tidak pula lupa untuk melakukan evaluasi secara berkala melalui forum dan survei secara publik.

 

2.      Aksesibilitas melalui Sarana dan Prasana yang Ramah Disabilitas. Menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap para penyandang disabilitas. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Permen Umum No. 30 Tahun 2006 – ada sarana prasarana yang perlu dipenuhi secara fisik; bangunan, lingkungan, ruang terbuka, dan penghijau, hingga tempat yang sering dikunjungi para penyandang disabilitas. Dalam peraturan tersebut – menekankan kepada (1) keselamatan; (2) kegunaan; dan (3) kemandirian. Contohnya, pembangunan fisik di dalam Perguruan Tinggi (PT) Negeri maupun Swasta ialah aksesibilitas yang meliputi, (1) ram atau tangga landai; (2) ruangan yang dilengkapi informasi secara braille; (3) toilet khusus disabilitas; (4) lift atau eskalator; (5) pintu otomatis dengan sensor; (6) keamanan lingkungan; (7) identitas suatu gedung; dan (8) parkir khusus (Andayani, 2010). Kemudian, aksesibilitas nonfisik yanng perlu diperhatikan pula meliputi, (1) apakah informasi yang disebarluaskan bisa dipahami para penyandang disabilitas; (2) memodifikasi media informasi dengan huruf yang besar; dan (3) communication support.

 

3.      Mewujudkan Pendidikan yang Inklusif. Pendidikan secara inklusif perlu diperlakukan dengan memasukkan konsep kewajiban Guru Pendamping Khusus (GPK) yang perlu dimiliki bagi setiap guru maupun tenaga pengajar. Menciptakan kurikulum yang secara khusus membahas mengenai pendidikan inklusif. Selain itu, suatu institusi pendidikan pun perlu membentuk Unit Layanan Disabilitas – seperti menyediakan pendamping bagi para penyandang disabilitas.

 

4.      Memaksimalkan Pendidikan Informal bagi Penyandang Disabilitas. Mengingat bahwasanya para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49%. Pendidikan non formal/informal perlu dimaksimalkan dan dikembangkan lebih jauh lagi untuk menyiapkan mereka memasuki dunia kerja. Kementeriaan Pendidikan, Sosial dan Tenaga kerja perlu berkolaborasi guna mempersiapkan mereka siap kerja. Dengan menyediakan pelatihan persiapan karier sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan saat ini. Pemerintah pun perlu bekerja sama dengan organisasi maupun perusahaan, seperti Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia hingga Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia – yang memiliki platform aplikasi untuk menunjang kemandirian bagi para penyandang disabilitas. 

 

5.      Pelayanan Kesehatan Kolaboratif. Pelayanan kesehatan yang kolaboratif perlu dilakukan antara kota, kecamatan, hingga kelurahan. Program yang bisa dimaksimalkan ialah melakukan kerja sama yang sinergis, apabila pelayanan dari tingkat bawah tidak memadai. Kemudian, menyediakan sarana dan prasana yang ramah disabilitas – seperti ramp khusus bagi kursi roda, menyediakan hand rail, loket antrean yang adaptif, dan tulisan berjalan. Tidak lupa juga untuk menyediakan pelayanan kunjungan secara langsung, tanpa harus datang ke rumah sakit (homecare services).

 

Daftar Pustaka

Andayani, Ro’fah dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif: Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel. Yogyakarta: PSLD UIN Sunan Kalijaga, Pertuni, ICEVI dan Nippon Foundation.

Badan Pusat Statistik. 2015. www.bps.go.id.

Moenir. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi. Aksara.

Rofah, dkk. 2011. Konsep Dasar Disabilitas dan Pendidikan Inklusif, Disabilitas dan Pendidikan Tinggi: Bunga Rampai Penelitian. Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga UIN Sunan Kalijaga

Sewel, Carl dan Paul B. Brown. 1997. Pelanggan Seumur Hidup, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Tangga.

Soeling, Pantius D. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung jawab social perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis dan Birokrasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan

Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Ratifikasi Konvensi Hak

Penyandang Disabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Penyandang Disabilitas.

 

Sepak Terjang Kekuatan Oposisi Menuju 2024



 

Pemilihan presiden 2019 menjadi percaturan politik bagi capres petahana Jokowi dengan capres oposisi, Prabowo. Rematch ini membuat sebagian masyarakat Indonesia mengeluh terhadap calon yang digadang dari kedua partai besar di Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih, sudah berada dititik jenuh dengan narasi kampanye pilpres 2019 kemarin dan mengharapkan ada nafas segar terhadap pilpres 2024 mendatang.

Dengan pemilihan yang lebih profesional dan menjunjung integritas. Tahun 2024, kiranya diprediksi akan menjadi angin segar bagi publik, dimana akan dimunculkan para kandidat yang lebih fresh dan sesuai dengan perkembangan zaman, yang siap meramaikan bursa capres pemimpin Indonesia hingga tahun 2029.

Sekarang pada tahun 2019, hasil pemilu sudah bisa terlihat. Pemilihan presiden dan wakil presiden dimenangkan oleh kubu 01, yaitu Jokowi-Amin. Sedangkan untuk kursi legislatif, kubu dari petahana lebih mendominasi jika dibandingkan dengan tahun 2014.

Total suara partai pengusung 01 yang telah lolos Parliamentary Threshold mencakup 54,9%. Sedangkan partai pengusung oposisi meraup 35,39% dalam kursi parlemen. Di sini bisa terlihat bahwasanya kursi koalisi pendukung 02 di parlemen lebih sedikit daripada 01. Maka dari itu, mampukah oposisi menjadi kekuatan politik yang berpengaruh dalam lima tahun kedepan?

Koalisi oposisi, yaitu Adil-Makmur. Yang lolos ke dalam ambang batas ialah Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS. Walaupun koalisi Adil-Makmur ini sudah dibubarkan dan partai PAN dan Demokat seperti sudah memberi sinyal untuk bergabung kepada petahana. Partai Gerindra dan PKS masih berada di kursi oposisi.

Secara normatif, partai politik didefinsikan sebagai lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara bersama, berdasarkan prinsip-prinsip dan hal yang mereka setujui (Burke, 1939).

Jika melihat realitas partai politik di Indonesia, tidak semua partai secara empiris memperjuangkan kepentingan nasional tetapi partai lebih mementingkan kepentingan reputasi partainya dan kepentingan yang menguntungkan.

Dalam tulisan Robert Michels mengenai The Iron Law of Oligarchy, ia menyatakan bahwa partai politik sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengidentifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya yang juga kelas sosial yang diwakili. Sehingga partai politik dalam pandangan Michels memungkinkan terjadinya koalisi besar dikarenakan adanya kepentingan yang relevan (Michels, 1968).

Seperti yang terjadi kepada partai Demokrat yang sudah mengisyaratkan keluar dari koalisi tersebut sebelum momen pembubaran yang resmi dari koalisi Adil-Makmur. Kepentingan yang dimiliki partai Demokrat sudah tidak sejalan dan tidak menguntung partai tersebut. Para politisi demokrat pun tidak segan-segan untuk mengatakan bahwa koalisi Adil-Makmur diisi oleh para “Setan Gundul”.

Percaturan politik yang dimainkan oleh Partai Demokrat pun bisa dinilai sebagai partai pragmatis–pertemuan-pertemuan yang mulai dilakukan demokrat dengan mulai merapatkan barisan kepada Jokowi. Pertemuan tersebut pun dilakukan oleh AHY di Istana Negara.

Banyak yang menilai bahwa pertemuan ini dilakukan untuk menyelamatkan suara demokrat dan AHY, yang dinobatkan sebagai kandidat kuat untuk Pilpres 2024. Nama AHY pun dissebut-sebut sebagai calon menteri dalam Kabinet Indonesia Kerja 2019-2024. Memang tidak mustahil ada jatah menteri bagi oposisi yang “mensucikan diri”. Pada kabinet sebelumnya, Jokowi-JK, memberikan jatah kepada partai Golkar, PAN, dan PPP. Dimana partai tersebut pada pilpres 2014 merupakan partai oposisi.

Tidak hanya partai demokrat saja yang sudah menemui Jokowi pasca pilpres 2019 selesai. Kedatangan ketua umum PAN dinilai sebagai kode ataupun proses politik yang memang mungkin terjadi. Ditambah lagi dengan pernyataan wakil ketua umum PAN yang memastikan partai berlambang matahari tersebut akan kemungkinan merapat ke barisan Jokowi-Amin.

Ditambah dengan sikap PAN yang mengakui kemenangan pasangan Jokowi-Amin, walaupun dengan beberapa catatan dengan lima dapil yang digugat oleh partainya. Gelagat yang dilakukan oleh partai PAN bisa terlihat berbeda dengan sikap yang sebelumnya menunjukkan sikap kesetiaan terhadap Prabowo-Sandi.

Polemik yang terjadi dalam koalisi Adil-Makmur memang runyam. Seperti yang dikatakan oleh Otto Von Bismarct, politik adalah seni kemungkinan. Kemungkinan yang tidak bisa terjadi akan bisa terjadi dalam hitungan waktu yang cepat. Walaupun dalam partai PAN, ada politikus PAN yang setia dan dekat dengan para anggota Aksi Bela Islam 212, seperti Eggi Sudjana dan Amien Rais.

Mereka getol mengorganisasikan massa untuk melakukan “People Power” – dan sudah terjadi – dengan narasi bahwa hasil pemilu 2019 diwarnai kecurangan. Sikap politisi PAN ini memang kontradiktif dengan ketua umum PAN Zulkifli Hasan yang lebih memilih untuk bersikap moderat.

Manuver-manuver yang dilakukan oleh partai oposisi mulai terlihat dan mencoba mengambil peluang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi tiap partai.  Manuver politik pun juga dilakukan oleh PKS. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera pun mengatakan pihaknya tidak lagi akan bernarasi #2019GantiPreisden kembali.

Bisa terlihat bahwa koalisi Adil-Makmur memang menunjukkan hubungan yang tidak mesra satu sama lain dan mulai mencari posisi yang aman demi menyelamatkan partainya pada tahun 2024. Padahal seharusnya partai koalisi ini saling bekerja sama untuk membangun klaim kemenangan Prabowo-Sandi saat itu.

Nasib partai Gerindra pun dipertanyakan pasca pemilu 2019 ini. Pertanyaan yang bisa diambil ialah bagaimana nasib partai Gerindra pasca Prabowo? Apakah suara Gerindra akan mengalami kenaikan atau justru mengalami penurunan?

Mengkomparasikan dengan PDIP, dimana Megawati sudah berhenti mencalonkan diri menjadi Presiden ditengah elektabilitasnya yang kian menurun. Meskipun, Megawati tetap menjadi aktor yang memiliki kekuatan besar dan menjadi pucuk pimpinan yang menjaga stabilitas partai banteng tersebut.

Prabowo pun bisa menempati posisi layaknya Megawati, sebagaimana yang juga dilakukan Yusril dari PBB dan Amien Rais dari PAN. Disisi lain, Gerindra bisa memanfaatkan potensi Sandiaga Uno untuk membangun kekuatan untuk meraup suara dalam pilpres 2024.

Meskipun pada pemilu 2024 akan melahirkan tokoh-tokoh baru yang memberikan harapan terhadap masa depan Indonesia. Sejumlah tokoh dari pihak oposisi yang dicanangkan akan bertarung ialah Anies Baswedan. Kemungkinan juga, Anies akan berpasangan kembali dan maju pilpres 2024 dengan Sandiaga Uno.

Anies Baswedan sebagai kepala daerah memiliki peluang untuk memberikan citra yang baik dan menunjukan prestasinya secara nyata sehingga elektabilitasnya kuat menjadi RI nomor 1. Tetapi, merebut kursi 2024 pun bukanlah perkara yang mudah seperti membalikkan tangan. Dari partai petahana pun muncul kandidat lain seperti Ridwan Kamil, Khofifah Indar, Emil Dardak, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, Tuan Guru Banjang dan sosok AHY pun bisa menjadi kandidat capres dengan poros terbaru.


*Tulisan ini juga diunggah melalui website Geotimes, dipilih sebagai opini pilihan.

Selengkapnya : Sepak Terjang Kekuatan Oposisi Menuju 2024 | GEOTIMES

Rabu, 20 Oktober 2021

Tangan Jahil Koruptor Daerah dalam Penderitaan Korban Bencana

 “Tangan Jahil Koruptor Daerah dalam Penderitaan Korban Bencana”




Posisi Indonesia yang strategis dikelilingi oleh ‘Ring Of Fire’ telah menjadikan negara ini mengalami rawan akan bencana alam. Sering kali yang dijumpai di Indonesia, seperti gempa bumi, banjir, longsor, tsunami maupun bencana lainnya. Jika kita kilas balik ke tahun 2018, setidaknya Indonesia mengalami tiga bencana besar – seperti gempa yang terjadi di Lombok, tsunami di Donggala, maupun Tsunami di Selat Sunda. Mirisnya, di tengah penderitaan, masih banyak yang melakukan penyelewengan bantuan dana yang seharusnya ditunjukkan kepada masyarakat. Bahkan, lebih parahnya lagi – ada yang melakukan pungutan liar di atas penderitaan korban bencana alam.

Kejutan bagi para pelaku korupsi dana bencana pun dilayangkan, seperti adanya potensi hukuman mati. Di dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Tipikor yang mengatur mengenai hukuman mati yang memungkinkan untuk dijatuhkan. Seperti pada saat ini, semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami bencana alam Covid-19. Bencana ini pun sudah dijadikan sebagai bencana nasional oleh Presiden Jokowi.

Kalimat “keadaan tertentu” yang terdapat di dalam pasal 2 ayat (2) UU Tipikor mengacu kepada tindak pidana yang dilakukan ketika negara sedang mengalami keadaan bahaya, salah satunya ialah bencana alam nasional. Bagi sebagian orang, hukuman mati telah menyalahi hak untuk hidup yang dimiliki setiap individu. Tetapi, ada pula yang berkata sebaliknya. Tuntutan pidana ini merupakan salah satu cara yang memiliki efek jera untuk memenggal keserakahan. Ketika sanksi spiritual mengenai siksa neraka enggan lagi bergerak, uang menjadi alat tebus dalam mengurangi masa tahanan, penjara berubah menjadi kamar hotel bintang tiga, maka hukuman mati layak diterapkan.

Seperti penyakit yang sudah mendarah daging, korupsi pun susah disembuhkan. Walaupun negara Indonesia adalah negara hukum dan kasus korupsi sudah diproses oleh hukum, belum tentu tindak pidana ini akan berhenti. Sebagai sebuah refleksi, apakah memang salah satu penyebab korupsi dikarenakan sistem negara ini yang masih mandul maupun para koruptor yang satu langkah lebih gesit? (Hardian, 2011). Walaupun seperti itu, korupsi sering kali dilakukan karena ada faktor pendorong yang memicu tindakan kecurangan. Di dalam teori GONE, tindak pidana korupsi dilakukan karena ada Greed, Opprotunity, Need, dan Exposes. Teori satu ini merupakan penyempurnaan dari teori Triangle Fraud yang dikemukakan oleh Cressey (1953), yang menyebutkan korupsi disebabkan oleh tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.

Di dalam teori Gone yang ditulis oleh Jack Bologne, ke empat unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain. Greed, mengandaikan keserakahan yang dilakukan oleh para koruptor, hal ini secara potensial – ada di dalam setiap individu. Opportunity, berkaitan dengan adanya kesempatan yang memberikan ‘jalan tikus’ untuk malapraktik tindak pidana korupsi – hal ini berkaitan dengan organisasi ataupun lingkungan yang memadai. Need, kebutuhan adalah salah satu sikap yang tidak pernah habis melalui konsumsi yang berlebihan dan merasa tidak cukup akan kebutuhan yang tak terselesaikan. Yang terakhir, Exposes, hal ini berkaitan dengan hukuman yang diterapkan begitu lemah, hukuman yang diberikan tidak membuat jera, dan tidak memberikan efek detterence (gentar) yang signifikan.

Hal ini bisa kita kontemplasikan dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi bencana alam yang terjadi di daerah. Walaupun, sudah melakukan penyelewengan – hukuman pun tidak berjalan dengan baik. Beberapa diantaranya ialah seperti kasus mantan bupati Nias. Ketika tahun 2011, Binahati Benedictus – yang merupakan eks bupati Nias, terlibat dalam kasus penyelewengan dana bantuan bencana tsunami yang melanda kabupaten Nias. Dugaan korupsi tersebut terjadi dari tahun 2006 hingga 2008. Kerugian tersebut memakan anggaran sebesar Rp3,7 Miliar dari Rp9,4 miliar yang digelontorkan untuk rehabilitasi bencana alam yang terjadi pada tahun 2005 tersebut. Hukuman yang diberikan kepadanya ialah lima tahun penjara dan denda Rp200 juta. Penyelewengan yang dilakukan ialah dengan cara mark up dana bantuan yang diperuntukkan pemberdayaan masyarakat Nias pasca tsunami 2005. Kemudian, terjadi lagi di Mataram, Lombok. Anggota DPRD, Muhir, melakukan pungutan liar senilai Rp4,2 Miliar yang berasal dari anggaran proyek APBDP 2018. Padahal, anggaran tersebut untuk membangun infrastruktur sekolah yang runtuh akibat gempa bumi di kota Mataram. Namun, lagi-lagi, Muhir hanya diberikan vonis dua tahun penjara dan dikenakan denda sebanyak Rp50 juta. Hingga, pungutan liar pun terjadi di bagian NTB lainnya yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Agama – dengan tujuan untuk merenovasi masjid akibat gempa yang menimpa NTB.

Keserakahan untuk meraup keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kondisi bencana alam sangatlah mematikan. Selain, merugikan masyarakat yang terdampak, lingkungan tidak lekas membaik, dan miss management untuk rehabilitasi pun akhirnya berjalan dengan meninggalkan keadilan yang seharusnya dipeluk erat oleh para korban bencana alam. Alih-alih, korupsi yang bersumber dari APBN/ APBD/ dana pihak lain malah dijadikan sebagai tangan jahil dalam penanganan bencana yang terjadi. Keserakahan dilakukan dengan berbagai cara untuk memenuhi hasrat yang ingin digapainya.

Seperti, yang terjadi di Kabupaten Mataram – Muhir memeras uang ke dinas pendidikan karena telah memuluskan rencana proyek rehabilitasi unit gedung SD dan SMP yang dianggarkan Rp4,2 Miliar. Dengan adanya kesempatan tersebut, Kesempatan ini lah yang memicu terjadinya kecurangan (Albrecht, 2004). Kesempatan tersebut didasari oleh kebutuhan yang ia ingin penuhi. Muhir pun mendapatkan 31 juta atas kecurangan tersebut. Hukuman yang didapatkan pun hanya dua tahun dalam masa tahanan.

Masih banyak kasus-kasus korupsi dana bencana alam yang terjadi di Indonesia, bahkan kasus-kasus korupsi ini pun menimpa “Pokmas” yang dipercayai untuk menyalurkan dana bantuan tersebut kepada masyarakat. Penggelapan uang ini terjadi di Mataram, penggelapan uang ini seharusnya dipakai untuk membangun rumah di desa Sigerongan, Lombok yang terdampak gempa. Alih-alih, uang tersebut tidak diberikan. Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan individu dan melakukan aktivitas judi online (Kompas, 2019).

Dari sini bisa terlihat, bahwa korupsi akan memperburuk dampak bencana alam yang terjadi, hingga memperberat beban dari penderitaan korban. Penggelapan tersebut menjadi biang kerok yang mengakibatkan kegagalan pemerintah dalam meminimalkan kerusakan yang terjadi, merehabilitasi secara maksimal pascabencana, membangun sdm pulih kembali hingga menata kembali infrastruktur yang terdapat di kota yang terdampak tersebut.

Dampak tersebut secara rinci bisa berdampak kepada politik dan pemerintahan suatu daerah, korupsi akan menjadikan penguatan dari sistem plutokrasi itu sendiri – kekuasaan dimiliki para elite politik, mereka yang memiliki modal. Dalam kasus bencana, korupsi tidak akan memberikan masyarakat kepada sikap simpati, melainkan menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah.  Dampak masif korupsi lainnya yang pun terjadi dalam kerusakan lingkungan, melihat bahwasanya bencana alam sudah menghancurkan rumah-rumah hingga pelayanan publik pun merupakan kisah yang memilukan. Diperparah lagi dengan melakukan korupsi, akibatnya akan terjadi penurunan kualitas dari lingkungan hidup. Korupsi bencana alam telah menghambat rehabilitasi fasilitas privat, publik, hingga lingkungan hidup itu sendiri. Hal ini pun memicu penurunan kualitas hidup dari sdm, kerusakan yang sudah parah ditambah perparah – akan berdampak kepada jaminan kesehatan masyarakat.

Praktik korupsi lainnya pun berdampak terhadap perekonomian masyarakat, mahalnya harga komoditas pun terbentuk. Kondisi ini terjadi karena harus menutupi kerugian, pun korupsi telah memperlambat pengentasan kemiskinan. Ketika fasilitas publik maupun pribadi rusak, akhirnya banyak sekali masyarakat yang menjadi pengangguran. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, dampak dari bencana Covid-19, gelombang PHK Karyawan meningkat hingga tingkat pengangguran yang diprediksi mengalami kenaikan hingga 2,9 – 5,2 juta orang. Gelombang PHK ini bisa dirasakan oleh 300 karyawan Ramayana yang diputus kontraknya, karena perusahaan tidak mampu lagi menutup biaya. Yang terakhir, korupsi akan berdampak kepada kesejahteraan sosial di suatu kota. Ketika bencana alam sudah melanda, masyarakat sudah tidak memiliki pemasukan yang pasti. Maka, sifat solidaritas gotong royong pun akan menjadi suatu hal yang langka. Hingga, dampak paling buruk yang terjadi ialah peningkatan kriminalitas di masyarakat. Hal ini terbukti dengan peningkatan kriminalitas yang terjadi selama masa pandemi Covid-19, peningkatan ini sebesar 19,72 persen. Kasus ini antara lain seperti pencurian, kejahatan, hingga bunuh diri.

Korupsi yang terjadi yang menambah penderitaan korban bencana merupakan tanda bahaya bagi kita semua. Dari sini, kita bisa menyadari bahwa korupsi sudah merajalela ke banyak sektor dan mulai tidak terkendali. Ketika korupsi sudah memasuki stadium gawat darurat (Syed Hussain, 1981), maka korupsi akan menyebar secara menyeluruh, tersistematis, dan akan saling menghancurkan. Bencana korupsi akan memantik bencana lainnya untuk datang menggerogoti negara – fasilitas publik buruk, biaya politik akan makin mahal, kemiskinan yang terjadi pada masyarakat, sampai rusaknya lingkungan hidup. Maka, rekomendasi yang bisa diberikan ketika terjadi korupsi dalam bidang bencana ialah, 1) pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk mencegah bencana korupsi, dan semua jenis korupsi yang terjadi; 2) memperkuat pengawasan kepada pemerintah daerah yang menggunakan anggaran ataupun dana untuk membantu korban yang terdampak; 3) melakukan penunjukan langsung ketika memberikan bantuan, dibandingkan dengan adanya mekanisme tender. Hal ini sangat rawan terjadi praktik penyelewengan; 4) perbaikan tata kelola dana bencana dengan memperhitungkan prioritas yang perlu dilakukan, pengkoordinasian, pengelolaan dana hingga audit. Kendati demikian, korupsi yang terjadi pada kondisi bencana alam pun akan minim dan rehabilitasi akan berjalan secara maksimal.

 

Daftar Pustaka

Jurnal dan Buku

Albrecht, W. S. 2004. Fraud and corporate executives: Agency, stewardship and broken trust. Journal of Forensic Accounting, Vol 5, page 109-130.

Bologna, J., Lindquist, R. J., & Wells, J. T. 1993. The Accountant's Handbook of Fraud and Commercial Crime: Wiley New York, NY.

Hardian, I. 2011. Kasus pengadaan barang/jasa berdasarkan temuan BPK RI. Jurnal Pengadaan, Senarai Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, 1.

Syed Hussein. 1975. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES

 

Artikel Online

Detik. 2017. Korupsi Dana Bencana Alam Mantan Bupati Nias Divonis 5 Tahun. Diambil dari  https://news.detik.com/berita/d-1700996/korupsi-dana-bencana-alam-mantan-bupati-nias-divonis-5-tahun.

ICW. 2019. Korupsi dan Bencana [E-Bulletin]. Diambil dari https://antikorupsi.org/id/bulletin/korupsi-dan-bencana.

ICW. 2019. Korupsi Bencana, Bencana Korupsi. Diambil dari https://antikorupsi.org/id/opini/korupsi-bencana-bencana-korupsi.

Kata Data. 2020. Kriminalitas Meningkat Selama Pandemi Corona Sebanyak Apa. Diambil dari https://katadata.co.id/berita/2020/04/22/kriminalitas-meningkat-selama-pandemi-corona-sebanyak-apa.

Kumparan. 2018. Korupsi Bencana Jauh Dari Hukuman Mati. Diambil dari https://kumparan.com/sabir-laluhu/korupsi-bencana-jauh-dari-hukuman-mati-1539483837110164209/full.

Kompas. 2019. Bendahara Pokmas Gelapkan Dana Gempa Rp 400 Juta untuk Judi Online. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2019/11/01/10190111/bendahara-pokmas-gelapkan-dana-gempa-rp-400-juta-untuk-judi-online.

Warta Ekonomi. 2020. Gelombang PHK Makin Mengancam 300 Karyawan Ramayana. Diambil dari https://www.wartaekonomi.co.id/read280017/gelombang-phk-makin-mengancam-300-karyawan-ramayana-bahkan-belum-terima-pesangon.

https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-politik-dan-demokrasi

https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-kerusakan-lingkungan

https://aclc.kpk.go.id/materi/bahaya-dan-dampak-korupsi/infografis/dampak-korupsi-terhadap-sosial-dan-kemiskinan

 

 

Start Up dan Negara

 Start-up acapkali dikaitkan dengan perusahaan yang berbasis teknologi dan informasi. Nyatanya start-up pertama kali muncul karena dikaitkan sebagai perusahaan mutakhir yang sedang dikembangkan pada akhir tahun 90-an sampai tahun 2000. Istilah start-up mulai dikenal secara publik pada masa munculnya fenomena dot-com bubble. Fenomena ini terjadi dikarenakan bursa saham di negara industri mengalami kenaikan nilai ekuitas secara signifikan berkat berkembang dan tumbuhnya industri sektor internet dan bidang-bidang yang terkait. Praktek ini disebut sebagai investasi prefix, dimana perusahaan dengan akhiran “.com” ataupun awalan “e-“ mengalami kenaikan yang pesat di dalam harga saham.




Meningkatnya saham di dalam industri sektor internet, makin banyak orang-orang yang memulai dan mengembangkan bisnisnya di dalam bidang internet. Dari situ, start-up mulai lahir dan bermunculan. Start-up memang identik dengan bisnis yang mengusung digitalisasi sebagai temannya. Padahal, start-up diartikan sebagai perusahaan yang dirancang dan dibentuk untuk tumbuh dengan cepat dan inovatif untuk menjawab kondisi dari ketidakpastian yang tinggi.

Perkembangan start-up di Indonesia pun sudah mulai bermunculan semenjak tahun 2000-an yang banyak dilahirkan oleh para pemuda di Indonesia dan memang Indonesia menjadi salah satu target pasar yang memukau para pengusaha start-up dikarenakan jumlah penduduknya yang besar ke-4 di dunia. Ditambah lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terbuka dengan teknologi baru. Tetapi, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa banyak perusahaan start-up yang dirintis oleh para pemuda di Indonesia tidak bertahan lama karena harus kalah bersaing dengan start-up yang merekrut tenaga asing. Namun masih banyak perusahaan start-up di Indonesia yang masih berkembang saat ini, hal ini pun juga dipengaruhi oleh modal dari investor dan intervensi pemerintah dalam penentu berkembangnya suatu perusahaan start-up di Indonesia. Tanpa dukungan pemerintah, maka start-up pun sulit berkembang dalam pelaksanaannya.

Kegagalan start-up akan melahirkan pengangguran yang baru, hal ini tentu sangat dihindari dalam aktivitas ekonomi di suatu negara. Layaknya teori John Maynard Keynes, ia mempunyai gagasan bahwasanya perlunya intervensi pemerintah dalam aktivitas ekonomi untuk menghindari peristiwa depresi yang tinggi dalam ekonomi suatu negara. Dengan melibatkan pemerintah, maka hal ini mendorong kembali kedudukan permintaan dan penawaran dalam pasar melalui kebijakan belanja dan investasi. Kebijakan pemerintah dalam mengintervensi suatu perekonomian tentunya disesuaikan dengan kondisi pasar yang sedang berkembang. Hal ini untuk mengatasi kegagalan pasar, mengendalikan eksternalitas, dan mendorong persaingan yang sehat di dalam aktivitas ekonomi. Apabila kondisi pasar sudah efektif, maka intervensi negara akan cenderung rendah karena pemerintah hanya memposisikan kedudukannya sebagai regulator dan supervisor. Maka dari itu, tingkat intervensi negara dalam suatu aktivitas ekonomi harus adaptif sesuai dengan kondisi pasar yang ada.

Sayangnya, bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa realitas yang terjadi di Indonesia ialah bahwa segala kegiatan yang berafiliasi dengan politik berpotensi gagal. Dikarenakan manusia jika sudah berpolitik bagaikan “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Hal ini yang memunculkan kepentingan-kepentingan yang bukan untuk menyejahterakan perekonomian untuk bersama, tetapi hanya untuk kepentingan pribadi semata. Yang pada akhirnya, melahirkan berbagai drama yang dibuat oleh perpolitikan tersebut. Drama dari perpolitikan ini tentu bisa membawa ke dalam kegagalan pasar ekonomi. Hal ini bisa menjadi penghambat dalam berjalannya start-up di suatu negara. Pemerintah akan dipandang lungai dalam menjaga iklim ekonomi yang baik dan stabil. Maka dari itu, para pengusaha start-up harus bisa membaca kondisi politik di negaranya dan mengeluarkan anggaran untuk mengantisipasi risiko politik.

Risiko politik ini yang menghambat investasi dan iklim yang sehat dalam aktivitas ekonomi memang sudah seharusnya dihindari oleh pemerintah. Pemerintah sudah seharusnya melihat kehadiran start-up sebagai salah satu peluang untuk mendorong dan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika start-up berhasil dan berkembang, maka tentunya akan memantik pertumbuhan ekonomi ke depan. Maka, sudah seharusnya pemerintah membantu dan mengawal perkembangan perusahaan start-up agar bisa menjadi unicorn yang bisa menghasilkan devisa untuk negara.

Pemerintah juga bisa melakukan upaya dengan memberikan jaminan produk, pemberian produk, dan memberi insentif fiskal untuk mendorong perkembangan start-up menjadi sektor industri yang kuat. Dengan melihat potensi yang berkembang di bidang teknologi, maka perkembangan tersebut harus diikuti pembinaan yang dilakukan oleh para pengusaha. Dimana para pengusaha tersebut sudah berhasil dalam pengembangan start-up. Hal ini berguna untuk mendorong perkembangan produk dan pemasarannya. Kemudian, para pengusaha start-up dan pemerintah pun harus berkolaborasi dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dengan inovasi-inovasi melalui kolaborasi antara masyarakat di daerah, pengusaha dan pemerintah.

            Salah satu contohnya ialah lahirnya start-up untuk menyejahterakan kelompok nelayan di Indonesia, yaitu Aruna. Aplikasi IT satu ini berkolaborasi dengan para kelompok nelayan dan pasar dengan skala nasional maupun internasional. Tentunya hal ini menjadi salah satu kolaborasi yang mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya bagi para nelayan. Yang pada akhirnya, start-up yang berbasis pada gerakan akar rumput tersebut bisa memandirikan nelayan tanpa bantuan korporasi yang selama ini melekat dan lebih bersifat menguntungkan satu pihak saja.

            Perkembangan start-up pun memang sudah seharusnya dimanfaatkan sebagai digitalisasi ekonomi. Selain menjadi primadona yang baru dalam perekonomian Indonesia, start-up juga bisa melahirkan ekonomi kreatif yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan sebagai salah satu jalan untuk dikembangkan sebagai bisnis baru di Indonesia. Keanekaragaman budaya dan hayati yang dimiliki Indonesia, sudah seharusnya diarahkan untuk menjadi potensi industri ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif memiliki peluang yang tinggi untuk menyumbangkan devisa kepada Negara.

            Pemerintah Indonesia dan para perintis start-up perlu bekerja dan berkolaborasi lebih cepat dan erat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan. Karena dengan ekonomi digital, Indonesia bisa memperoleh pemanfaatan yang besar jikalau dikembangkan dengan komitmen yang tinggi. Apalagi perkembangan suatu teknologi dan informasi mulai memiliki peran yang signifikan dalam aktivitas ekonomi suatu negara. Kemajuan teknologi dan informasi ini pun tidak bisa dibendungi dalam kehidupan modern saat ini, karena kemajuan ini berjalan beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Setiap inovasi yang dilahirkan tentunya untuk menjawab permasalahan dan tantangan yang ada di dalam kegiatan sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini pun akan menghasilkan dampak yang positif bagi negara, dampak tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas industri yang besar dikarenakan adanya investasi yang berlangsung secara besar-besaran. Perkembangan yang pesat ini juga harus mengantisipasi negara untuk mempersiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi perkembangan zaman.

Referensi

Amalia, Dina. 2017. Karakter dan Perkembangan Bisnis Start-up Digital di Indonesia. Diakses dari https://www.jurnal.id/id/blog/2017-karakter-dan-perkembangan-bisnis-startup-di-indonesia/. [Online].

John M. Keynes. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. New York: Harcourt Brace.

Syauqi, Ahmad Thariq. 2016. Startup sebagai Digitalisasi Ekonomi dan Dampaknya bagi Ekonomi Kreatif di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sabtu, 28 Juli 2018

REVIEW MASKER WAJAH SACHET DARI TAHUN 1927?! (MASKER / BEDAK SARIPOHATJI)


Bedak saripohatji merupakan semacam bedak spesial untuk menyembuhkan segala rupa-rupa penyakit seperti : jerawat, terotolan, ketuwuhan, sariawan d.s.b.

Penjelasan mengenai bedak saripohatji dengan bahasa ala-ala jaman daholoe.

Bedak saripohatji dibikin dari daun, buah, akar dan pohon yang memiliki banyak khasiatnya. Bedak ini baik sekali untuk obat menghilangkan penyakit kulit di muka kita. Jika kita menggunakan bedak saripohatji 2-3 kali saja. Niscaya paras kita bersih, bersinar dan bercahaya kelihatannya. Kurang lebih seperti itu penjelasannya yang tertera di belakang bungkusan bedak saripohatji. Sebelumnya saya beli melalui online shop saya, jika kalian mau membeli bisa beli di saya dengan kisaran harga 5000/pcs. Langsung kontak saja melalui komen dibawah ini dengan meninggalkan email anda. Sebelumnya saya mau menampilkan dulu tampilan bedak saripohatji ini dari depan.


Bedak saripohatji tampak depan. Packagingnya sederhana banget.

Bedak saripohatji ini terlihat dari bungkusannya, terdiri pada tahun 1927. Bedak ini juga sudah memiliki nomer Dep.Kes ataupun Gedep. Jadi tidak usah khawatir kalau kalian ragu untuk membelinya. Bedak ini bisa digunakan menjadi bedak ataupun masker. Tetapi, saya menggunakan bedak saripohatji ini sebagai masker yang saya gunakan tiap malam hari. Dengan cara mencairkan bedak ini dengan air mawar viva yang harganya murce abis, sis! Bedak ini sudah direview beauty blogger banyak sekali. Mereka berkata bahwa masker ini memang ajaib tetapi hasilnya memang tidak instan. Hasil baru keliatan sekitar kurang lebih 2 bulan. Saya mengakui memang dari bedak ini sesuatu yang menghasilkan “cantik” tentulah tidak instan. Jerawat perlu dibasmi tentunya juga dengan facial wash, day cream, night cream, dan salep yang terbukti melawan jerawat. Bedak ini yang saya suka adalah gampang kering jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menggunakan bedak ini menjadi masker. Menurut saya, bedak ini juga bisa banget untuk memutihkan wajah. Yang saya rasakan di muka saya seperti itu, menjadi lebih kinclong seperti janji yang telah dijanjikan oleh bedak ini ~. Dan yang saya suka dari tampilan bedak ini ialah lucu. Bedak ini membentuk seperti pil obat berwarna putih.

tuh liat lucu banget gak sih kayak pil obat?


Tetapi, sayangnya hal yang tidak saya sukai dari bedak ini ialah serbuknya gampang sekali jatuh ketika masker saripohatji ini mulai mengering atau saya memakainya terlalu lama. Alhasil baju saya jadi putih-putih deh. (ew) Tetapi, tenang saja bagi kalian pecinta masker murah! Kurang lebih masker ini bisa dipakai sampai 3x, karena isi pilnya begitu banyak. Bedak di foto atas sudah saya pakai sekitar 2x. Untuk bau bedak saripohatji saya wanti-wanti kalau bagi kalian yang tidak menyukai bau tepung gitu. Mungkin menurut saya pribadi sih, ini menjadi minus dari masker ini. Bau bedak ini seperti bau tepung atau talas kali ya (?) pokoknya baunya kurang enak menurut saya. Ya, mungkin karena harga murah jadi tidak terlalu memikirkan baunya tetapi banyak khasiat di dalamnya. Tetapi, bagi kalian yang mau coba masker atau bedak saripohatji ini untuk menyembuhkan jerawat kalian sebagai pendukung ataupun pembantu basmi jerawat. Bisa banget untuk dicoba! Tetapi ingat ya, masker ini tidak langsung membawa perubahan. Inget ya, hasil instan untuk muka itu tidak baik J. Jadi, jangan lupa juga untuk memakai sabun cuci muka, sunblock, krim pagi, krim malam, salep jerawat, dan lain sebagainya untuk membuat paras muka ini semakin menjadi kulit bayi! saya kasih bintang 3/5 untuk bedak ini. worth to try!

Sekian dan terima kasih sudah mau membaca review saya ya!

Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi

  Sandi Menyebarkan Optimisme Peluang Bisnis UMKM di Masa Pandemi   Sandiaga Uno menyebarkan optimisme peluang bisnis Usaha Mikro, Kecil...