Permasalahan
mengenai disabilitas dalam pembangunan sering kali dimarjinalkan.
Pengekslusifan tersebut sering kali merugikan kesempatan para penyandang
disabilitas dalam berpartisipasi untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif.
Hal ini mengakibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang penyandang disabilitas
memiliki kualitas hidup yang rendah dikarenakan tidak didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai. Perbaikan untuk melawan ketidaksetaraan ini pun
diwujudkan dengan memasukan pembangunan
inklusif bagi para penyandang disabilitas dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB). Perbaikan ini dilakukan demi merubah lingkungan yang tidak
seimbang dalam proses pembangunan di suatu negara. Dengan adanya pembangunan
inklusif, diharapkan ada perbaikan dalam tatanan ekonomi, sosial, maupun budaya
di dalam pembangunan yang berkelanjutan (United Nations, 2016).
Salah satunya ialah mengenai kesempatan mengakses pelayanan publik secara
nyaman. Kesempatan pelayanan publik yang diwadahi pemerintah pun kerap kali
terbatas bagi para penyandang disabilitas. Situasi ini pun akhirnya merugikan
kesempatan Negara dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dengan tidak
mengikutsertakan para penyadang disabilitas untuk turut andil. Pelayanan publik
merupakan salah satu fasilitas yang harus diberikan oleh warga negara dalam
mewujudkan hak-hak yang mereka miliki. Pelayanan publik tersebut tentu wajib
dipenuhi demi mewujudkan makna good governance itu sendiri. Fasilitas
yang diberikan oleh negara merupakan jembatan Negara dalam memecahkan maupun
memenuhi kebutuhan dan hak warga negaranya. Karakteristik pelayanan publik yang
wajib diberikan ialah excellent service. Pelayanan ini diberikan sesuai
dengan standar yang berada di dalam sebuah instansi pemerintahan (Sutopo,
2003).
Pelayanan publik sudah seharusnya mewujudkan kebijakan pelayanan maupun
pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) demi kepentingan publik. Namun, sering
kali temuan yang ada di lapangan ialah pelayanan publik tidak berorientasi
untuk menangani permasalahan publik. Pelayanan yang diberikan pun tidak
responsif terhadap para penyandang disabilitas. Padahal jika kita telisik lebih
jauh, di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 telah menegaskan bahwa penyandang
disabilitas memiliki kedudukan, hak, serta kewajiban yang sama seperti para
penyandang non-disabilitas lainnya. Nyatanya kebijakan tersebut pun belum
dipenuhi sepenuhnya.
Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para penyandang disabilitas
ataupun mendukung pembangunan inklusif pun tidak diwujudkan secara baik. Dari
segi pelayanan maupun aksesibilitas para penyandang disabilitas pun belum
menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Fasilitas seperti terminal, trotoar,
tempat penyeberangan maupun toilet umum pun belum diberikan
akses yang layak bagi para penyandang disabilitas.
Permasalahan yang lain pun muncul, salah satunya ialah kurang pahamnya
penyandang disabilitas akan hak-hak yang seharusnya bisa diberikan Negara. Para
penyandang disabilitas pun minim pengetahuan akan fasilitas pelayanan umum yang
bisa mereka dapatkan seperti penyandang non-disabilitas lainnya. Selama ini
pula, para penyandang disabilitas jarang sekali menuntut hak-hak yang
seharusnya bisa mereka dapatkan secara nyata. Bahkan, terkesan lebih pasrah
mengenai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
Kendati demikian, peran dan partisipasi pemerintah dalam merubah pelayanan
publik yang diskriminatif pun perlu dilakukan. Dengan ini pun pemerintah sedang
mewujudkan pembangunan inklsuif dalam kebijakannya. Pelayanan publik yang
diberikan oleh pemerintah pun harus memenuhi kebutuhan seluruh warga negaranya,
termasuk penyandang disabilitas itu sendiri. Setiap pelayanan yang diberikan
pun harus menjamin kesempatan yang sama untuk menghargai mereka yang selama ini
hidup dibayang-bayang ketidaksetaraan. Dengan ini, pihak dari pemerintah pusat
maupun daerah harus memahami bagaimana kebijakan yang tepat tanpa adanya diskriminasi
di kalangan masyarakat. Pemerintah pun harus menggandeng organisasi sosial yang
bersangkutan dalam guna mewujudkan pembangunan inklusif.
1.2 Kajian Teoritik
1.2.1 Penyandang Disabilitas
Definisi mengenai penyandang disabilitas pun memiliki definisi yang beragam
di dalam bidang akademik. Disabilitas atau different ability memiliki
makna yang mengacu kepada manusia dengan kemampuan yang berbeda. Pengucapan
disabilitas digunakan untuk mengganti pelafalan dari “penyandang cacat” yang memiliki
konotasi negatif. Di dalam teori Personnal Tragedy yang dikemukakan oleh
Barnes pun mendefinisikan bahwa disabilitas merupakan kondisi tubuh yang
berasal dari adanya kecacatan ataupun kelainan (Rofah, 2011). Teori ini sering
disebut sebagai teori biomedis. Definisi lainnya di era kontemporer saat
ini pun memiliki definisi yang berbeda, teori ini sering kali disebut sebagai
teori biopsikososial. Teori ini menggabungkan dari teori biomedis
yang berpusat kepada faktor kelainan (impairments). Namun, teori ini
juga menambahkan faktor lainnya, seperti faktor attitudinal barries atau
lingkungan fisik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan data statistik yang
menunjukan bahwa penyandang disabilitas memiliki jumlah sebesar 15% dari
populasi yang ada di dunia. Di Indonesia sendiri pun total para penyandang disabilitas menapai
36 juta atau setara dengan 15% dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Isu-isu
mengenai penyandang disabilitas pun kerap kali dibicarakan dalam skala global.
Indonesia sendiri pun telah meratifikasi konvensi internasional yang telah
disetujui bersama melalui Convention on the Rights of Persons with
Disabilities. Konvenan tersebut diratifikasi di dalam UU No. 19 Tahun 2011,
yang di dalamnya mengatur mengenai hak-hak yang harus dipenuhi negara terpihak.
Sebelumnya, Indonesia pun sudah memiliki UU yang mengatur mengenai disabilitas,
yaitu UU No. 4 Tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat. Namun UU tersebut tidak
sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Sehingga, dilakukan revisi
yang terbaru dalam UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.
Kebijakan tersebut dirubah dikarenakan penggunaan kata cacat yang terkesan
diskriminatif. Kata cacat yang berada di “penyandang cacat” dinilai sebagai
kata yang diinterpretasikan sebagai suatu hal yang tidak sempurna. Dengan
demikian, kata cacat pun telah mekonstruksi para penyandang disabilitas sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang “tidak sempurna”. Tuntutan pun mulai berdatangan
demi memanusiakan para penyandang disabilitas, dengan tujuan untuk
merekonstruksi ulang mengenai istilah yang dilabelkan kepada para penyandang disabilitas.
Penggantian kata “cacat” tersebut diharapkan bisa merubah kacamata masyarakat
lainnya untuk tidak memandang secara diskriminatif. Dengan adanya kata different
ability, diharapkan masyarakat lainnya menyadari bahwa semua orang sama,
hanya saja mereka mengartikulasikan sesuatu dengan berbeda. Jika kita bisa
berkomunikasi dengan menggunakan mulut kita, para penyandang disabilitas pun
juga bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan alat bantu. Penyebutan
tersebut pun berganti menjadi difabel – dimana tidak memiliki konotasi negatif.
Dengan penyebutan tersebut, para penyandang disabilitas dianggap hanya memiliki
perbedaan dalam kemampuan, bukan tidak memiliki kemampuan sama sekali. Yang
mereka butuhkan hanyalah alat pembantu agar bisa melakukan aktivitasnya (Fakih,
2011). Namun istilah difabel pun juga menuai kontroversi, kata tersebut dinilai
sebagai orang yang sakit. Difabel dianggap sebagai suatu yang mengalami
kelemahan secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh keterbatasan yang
dimilikinya. Keterbatasan tersebutlah yang mengakibatkan penurunan akan
kualitas di dalam hidupnya.
Paradigma lainnya yang muncul di kalangan penyandang disabilitas ialah berasal
dari perkembangan civil rights. Para penyandang disabilitas merupakan
bagian yang berada di dalam masyarakat – terlahir sama seperti yang lain dan
hidup secara wajar. Paradigma ini berkaitan dengan persoalan sosial – yang
menyangkut ekonomi, kebijakan, hingga sumberdaya. Kemunculan paradigma satu ini
tidak langsung menghapus paradigma penyandang disabilitas lainnya, namun
paradigma tersebut menggambarkan fenomena difabel sebagai suatu yang bisa
dilihat dengan sudut pandang apapun. Keberadaan dari para penyandang
disabilitas pun tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi maupun
memarjinalkan keberadaan mereka, justru hal ini yang seharusnya menjadi
pemantik untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif.
Di dalam kebijakan yang berada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 8
Tahun 2016, mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki
keterbatasan fisik, intelektual, mental, maupun sensorik dengan jangka waktu
yang lama. Sehingga, para penyandang disabilitas pun mengalami hambatan dalam
berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara. Kendati demikian,
aksesibilitas pun diperlukan guna memenuhi hak-hak yang dimiliki bagi setiap
warga negara. Di dalam pasal 1 ayat 8 telah menyebutkan bahwa aksesibilitas
telah diberikan guna memanifestasikan kesetaraan. Kesetaraan tersebut pun
diwujudkan dalam kesamaan kesempatan melalui pemberian peluang ataupun akses
secara adil.
Saat pergeseran definisi tersebut pun bertransisi menjadi difabel, maka
pola pikir pemerintah pun seharusnya berubah. Para penyandang disabilitas
bukanlah orang yang memiliki kecacatan dan dari kecacatan tersebut harus
diakomodasi melalui pelayanan. Akan tetapi, para penyandang disabilitas
memiliki kemampuan yang berbeda dan hal tersebut yang harus diakomodasi oleh
pemerintah.
1.2.2 Pelayanan Publik
Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik
sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan pelayanan
sesuai dengan kebijakan yang tertera di dalam undang-undang. Pelayanan tersebut
diberikan kepada setiap warga negara berupa barang, jasa, ataupun
administratif. Pelayanan digunakan untuk menyediakan kebutuhan masyarakat.
Pelayanan publik sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009, harus memberikan pelayanan
yang tidak diskriminatif, partisipatif, dan fasilitas bagi para penyandang
disabilitas. Kendati demikian, pengimplementasian pelayanan publik sudah
seyogianya menganut keadilan bagi warga negaranya, termasuk para penyandang
disabilitas.
Pelayanan sendiri memiliki definisi sebagai aktivitas yang dilakukan dengan
orientasi tertentu dan memiliki tingkat kepuasan yang harus dirasakan penerima
(Moenir, 2002). Pelayanan pun berkorelasi dengan kebutuhan dari para penerima.
Mengenai pelayanan publik sendiri, pelayanan publik memiliki orientasi untuk
memenuhi kepuasan dari warga negaranya. Dengan demikian, asas-asas yang perlu
dipenuhi dalam pelayanan publik berkorelasi dengan transparansi, keseimbangan
antara hak maupun kewajiban, akuntabilitas, keamanan hak, kondisional, serta
partisipatif. Pelayanan publik pun juga memiliki prinsip yang bekutat kepada (1)
kesederhanaan; (2) kepastian waktu; (3) akurasi; (4) kejelasan; (5) keamanan;
(6) kenyamanan; (7) fasilitas sarana prasarana yang lengkap; (8) kedisplinan,
sopan, dan ramah; (9) kemudahan akses dan; (10) tanggung jawab. Yang terakhir –
pelayanan publik memiliki standar yang harus ditaati, meliputi (1) prosedur
pelayanan; (2) kompetensi petugas; (3) waktu penyelesaian; (4) biaya pelayanan;
(5) produk pelayanan dan; (6) sarana dan prasarana. Asas, prinsip, maupun
standar pelayanan publik harus ditaati dan diberikan kepada masyarakat. Ketiga
hal tersebut pun menjadi pedoman hingga indikator untuk mengevaluasi kinerja
dari suatu pelayanan publik di suatu instansi.
Sedangkan publik memiliki pengertian sebagai masyarakat umum itu sendiri.
Masyarakat yang harus diatur dan dilayani oleh Negara, selain menjadi
administrator – Negara juga bekerja sebagai penguasa yang membentuk regulasi
hukum negaranya. Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu
hal yang menyangkut dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat umum. Pelayanan
tersebut akan ditujukan kepada mereka yang memiliki kebutuhan ataupun
kepentingan sesuai dengan aturan yang telah berlaku (Joko, 2001).
Aktivitas yang diberikan oleh pemerintah dalam pelayanan publik kerap kali
dinilai kurang dalam memenuhi kepuasan hingga kebutuhan dari masyarakat.
Kendati demikian, diperlukan sebuah manajemen pelayanan publik guna meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dari suatu pelayanan. Kegiatan manajemen publik ini
pun merupakan kegiatan yang dilakukan guna merubah sebuah rencana menjadi
kenyataan, berupa sebuah produksi, sikap ataupun perbuatan (Moenir, 2002).
Kegiatan manajemen diselenggarakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
publik. Kendati demikian, sebuah manajemen pelayanan publik memiliki tujuan
dalam pelaksanaannya, yaitu memenuhi kepuasan dari publik. Walaupun, tujuan
dari kegiatan tersebut terlihat mudah – akan tetapi, tujuan tersebut memerlukan
keseriusan untuk mencapainya.
Selain itu, pelayanan merupakan suatu aktivitas yang memerlukan sikap
positif dan diberikan kepada penerima atau pelanggan. Sikap yang perlu
diperhatikan dalam pelayanan ialah seperti senyum, gerak gerik, cara berbusana,
kecekatan dan bagaimana cara berkomunikasi kepada pelanggan. Hal ini tentu akan
memberikan kesan yang positif dan memberikan kepuasan tersendiri terhadap
pelayanan yang diberikan (Soeling, 2007). Namun, hal tersebut merupakan sebagian
dari kecil yang perlu dilakukan. Bagian yang terpenting dalam pelayanan publik
ialah bagaimana merancang sistematis yang baik dengan tujuan memudahkan
komunikasi antara pelayan dan pelanggan (Sewel, 1997).
Hal lainnya yang berkaitan dengan pelayanan ialah bagaimana kualitas dari
pelayanan tersebut. Melihat bahwa organisasi sektor publik lebih banyak
bergerak kepada bidang jasa – kendati demikian, kualitas dari pelayanan menjadi
sebuah kunci, seperti kualitas dalam memenuhi harapan konsumen, kualitas dalam pengaplikasian
untuk produk maupun jasa (Goetsch, 1997). Untuk menciptakan kualitas pelayanan
yang prima atau excelence service, diperlukan tiga hal, yaitu (1)
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan dari pelanggan hingga
karakteristik pelanggan; (2) pengembangan database yang akurat; (3)
memanfaatkan informasi yang berasal dari riset pasar.
Dengan demikian, diharapkan melalui pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah, akan memberikan pelayanan yang bisa membuaskan kebutuhan hingga
keinginan masyarakat itu sendiri, termasuk mereka yang berada di kelompok
rentan. Dengan adanya kebijakan yang sudah berlaku, maka pemerintah harus
berperan secara andil dalam memberikan solusi maupun tawaran kepada penyandang
disabilitas guna membangun pembangunan hingga kebijakan yang inklusif. Dengan
cara memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif dan bisa dimanfaatkan secara
luas. Misalnya, seperti tuna netra yang membutuhkan braile ataupun
komputer suara dalam pelayanannya. Hingga, penyediaan pelayanan umum seperti
transportasi, halte, ataupun jalan penyeberangan yang ramah bagi para
penyandang disabilitas.
1.3 Memenuhi Pelayanan Publik yang Ramah bagi Para
Penyandang Disabilitas
Banyaknya permasalahan yang menyangkut para penyandang disabilitas,
salah satunya ialah mengenai pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Maka,
tidak heran pula permasalahan ini pun menjadi isu yang krusial hingga dijadikan
salah satu komitmen di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada
tahun 2015-2019 lalu. Komitmen yang tertera di dalam Peraturan Presiden No. 2
Tahun 2015 tersebut pun didukung oleh UU mengenai pelayanan publik itu sendiri.
Pelayanan publik yang diselenggarakan dengan pelayanan yang adil dan perlakuan
khusus bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Pelayanan publik
merupakan salah satu hak yang perlu dipenuhi oleh Pemerintah diantara 23 hak
yang dimiliki para penyandang disabilitas.
Sayangnya implementasi kebijakan tersebut pun belum berjalan baik
sebagaimana semestinya. Kebijakan tersebut hanya berkutat kepada prinsip umum,
tidak bergerak secara spesifik. Di dalam peraturan Kementerian Reformasi
Birokrasi No. 15 Tahun 2014 mengenai Pedoman Standar Pelayanan pun tidak
menunjukkan semangat non-diskriminasi maupun pelayanan khusus kepada kelompok
rentan. Dengan demikian, masih sering kali ditemukan pelayanan yang tidak ramah
terhadap disabilitas. Seperti, yang kerap kali terjadi ialah tidak ada Aparatur
Sipil Negara (ASN) di suatu instansi yang bisa berkomunikasi bahasa isyarat.
Akhirnya, pelayanan pun terhambat dikarenakan kesulitan menerjemahkan para
penyandang disabilitas tuna rungu maupun wicara. Dengan ini, para penyandang
disabilitas pun kesusahan untuk mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan
kebutuhannya. Hal ini tentunya menjadi refleksi bagi
pemerintah pusat maupun daerah dalam membenahi fasilitas pelayanan publik yang
ramah bagi para penyandang disabilitas.
Pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik sudah seharusnya menyediakan
hingga melakukan sosialisasi maupun edukasi mengenai pelayanan publik yang bisa
diakses oleh para penyandang disabilitas. Sosialisasi maupun edukasi menjadi
suatu hal yang penting dalam dunia pelayanan publik; mengingat masih banyak
minimnya pengetahuan dari internal pemerintah itu sendiri mengenai pelayanan
yang ramah disabilitas.
Permasalahan yang sering terjadi di dalam dunia pelayanan publik ialah
pelayanan di bidang pendidikan maupun kesehatan. Melihat UU Nomor 20 Tahun 2003
mengenai sistem pendidikan nasional, telah menyatakan kewajiban akan
menyelenggarakan layanan pendidikan khusus dan setara bagi para penyandang
disabilitas. Kebijakan ini pun diperkuat lagi melalui Peraturan Pemerintah
No.17 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa setiap tingkatan pendidikan
(TK-Perguruan Tinggi) harus menerima peserta didik tanpa adanya diskriminasi
secara fisik maupun mental. Namun, realitas yang terjadi ialah para penyandang
disabilitas yang bersekolah hanya menyentuh angka 36,49% (BPS, 2015). Dengan
demikian, pendidikan inklusi perlu diterapkan lebih serius lagi. Mengingat
pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang tidak memarjinalkan para
penyandang disabilitas dengan cara menempatkan mereka seperti teman sebayanya
di sekolah reguler.
Pendidikan inklusi memang telah dilakukan uji coba semenjak tahun 2001,
namun menjumpai permasalahan di dalamnya. Permasalahan di dalam pendidikan
inklusif ialah (1) minimnya pengajar pendamping khusus (GPK); (2) minimnya
kompetensi guru dalam menangani murid penyandang disabilitas; (3) kurangnya pelatihan
mengenai pendidikan inklusi; (4) guru mengalami kesulitas dalam mengajar dan
murid pun susah mengikuti pelajaran; dan (5) program, administrasi, dan SDM
yang belum siap menampung pendidikan inklusi. Serta, masih banyak lagi
permasalahan yang dihadapi oleh pengimplementasian dari pelayanan pendidikan
inklsuif.
Persoalan lainnya yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah pelayanan
kesehatan. Permasalahan itu sering berkaitan dengan akses yang diberikan oleh
puskesmas hingga rumah sakit. Tantangan yang sering dihadapi ialah para
penyandang disabilitas mengalami kesusahan untuk mengakses pelayanan tersebut.
seperti, minimnya fasilitas yang mendukung kenyamanan para penyandang
disabilitas – lantai licin, koridor yang sempit, petunjuk arah yang tidak bisa
dinikmati oleh tuna netra. Minimnya petugas pelayanan yang bisa berkomunikasi
dengan penyandang disabilitas; akibatnya mereka pun kesulitan untuk
mengartikulasikan kebutuhannya. Kemudian, permasalahan yang paling kompleks
ialah ketidakmampuan mendatangi fasilitas kesehatan yang mendukung bagi mereka
yang tinggal di daerah terpencil. Ketika mereka membutuhkan pengobatan hingga
terapi, mereka pun sulit datang untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Pelayanan
yang paling dimungkinkan untuk didapatkan ialah pelayanan dari rumah (homecare
services). Pelayanan yang diberikan dengan mengunjungi rumah penyangdang
disabilitas sebagai alternatif untuk meringankan beban mereka.
1.4 Rekomendasi Kebijakan
Melihat permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh para penyandang
disabilitas – dengan demikian, diperlukan terobosan baru guna mewujudkan
pelayanan publik yang ramah disabilitas guna mewujudkan pembangunan secara
inklusif. Berikut beberapa rekomendasi yang diberikan guna menyukseskan
kebijakan yang ramah bagi disabilitas terhadap pembangunan inklusif.
1. Sosialisasi dan Edukasi kepada Penyelenggara
Pelayanan Publik. Melihat minimnya pengetahuan tentang disabilitas dalam pelayanan publik;
melakukan sosialisasi hingga edukasi mengenai pelayanan publik yang ramah terhadap
disabilitas perlu dilakukan. Para calon Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
bekerja melayani masyarakat – sudah seharusnya memiliki kompetensi untuk
mengerti mengenai pelayanan publik yang inklusif. Kendati demikian, diperlukan Sekolah
Inklsuif Pelayanan Publik (SIP PUBLIK) –
dengan tujuan agar para tenaga kerja yang bekerja di sektor publik bisa
melayani tanpa tidak mengerti bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan para
penyandang disabilitas. Sosialisasi dan edukasi mengenai pelayanan publik perlu
dilakukan, apalagi mengingat sudah terbitnya kebijakan yang mengatur mengenai
disabilitas. Selain itu, sektor publik pun harus memastikan adanya sosialisasi
yang diberikan kepada masyarakat secara holistik; dari yang awam hingga yang
sudah teredukasi. Dengan demikian, masyarakat pun semakin kritis dan
partisipatif dalam isu-isu disabilitas; mengingat disabilitas memiliki hak yang
sama seperti non-disabilitas lainnya. Masyarakat pun bisa mengingatkan kepada
mereka yeng memiliki kerabat penyandang disabilitas untuk mendapatkan
hak-haknya dari negara. Selain itu, tidak pula lupa untuk melakukan evaluasi
secara berkala melalui forum dan survei secara publik.
2. Aksesibilitas melalui Sarana dan Prasana yang
Ramah Disabilitas. Menyediakan sarana dan prasarana yang ramah terhadap para penyandang
disabilitas. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam
Permen Umum No. 30 Tahun 2006 – ada sarana prasarana yang perlu dipenuhi secara
fisik; bangunan, lingkungan, ruang terbuka, dan penghijau, hingga tempat yang
sering dikunjungi para penyandang disabilitas. Dalam peraturan tersebut –
menekankan kepada (1) keselamatan; (2) kegunaan; dan (3) kemandirian.
Contohnya, pembangunan fisik di dalam Perguruan Tinggi (PT) Negeri maupun
Swasta ialah aksesibilitas yang meliputi, (1) ram atau tangga landai; (2)
ruangan yang dilengkapi informasi secara braille; (3) toilet khusus
disabilitas; (4) lift atau eskalator; (5) pintu otomatis dengan sensor; (6)
keamanan lingkungan; (7) identitas suatu gedung; dan (8) parkir khusus
(Andayani, 2010). Kemudian, aksesibilitas nonfisik yanng perlu diperhatikan
pula meliputi, (1) apakah informasi yang disebarluaskan bisa dipahami para
penyandang disabilitas; (2) memodifikasi media informasi dengan huruf yang
besar; dan (3) communication support.
3. Mewujudkan Pendidikan yang Inklusif. Pendidikan secara inklusif perlu diperlakukan
dengan memasukkan konsep kewajiban Guru Pendamping Khusus (GPK) yang
perlu dimiliki bagi setiap guru maupun tenaga pengajar. Menciptakan kurikulum
yang secara khusus membahas mengenai pendidikan inklusif. Selain itu, suatu
institusi pendidikan pun perlu membentuk Unit Layanan Disabilitas –
seperti menyediakan pendamping bagi para penyandang disabilitas.
4. Memaksimalkan Pendidikan Informal bagi
Penyandang Disabilitas. Mengingat bahwasanya para penyandang disabilitas yang bersekolah hanya
menyentuh angka 36,49%. Pendidikan non formal/informal perlu dimaksimalkan dan
dikembangkan lebih jauh lagi untuk menyiapkan mereka memasuki dunia kerja.
Kementeriaan Pendidikan, Sosial dan Tenaga kerja perlu berkolaborasi guna
mempersiapkan mereka siap kerja. Dengan menyediakan pelatihan persiapan karier
sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan saat ini. Pemerintah pun perlu bekerja
sama dengan organisasi maupun perusahaan, seperti Perkumpulan Penyandang
Disabilitas Indonesia hingga Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia – yang
memiliki platform aplikasi untuk menunjang kemandirian bagi para penyandang
disabilitas.
5. Pelayanan Kesehatan Kolaboratif. Pelayanan kesehatan yang kolaboratif perlu
dilakukan antara kota, kecamatan, hingga kelurahan. Program yang bisa
dimaksimalkan ialah melakukan kerja sama yang sinergis, apabila
pelayanan dari tingkat bawah tidak memadai. Kemudian, menyediakan sarana
dan prasana yang ramah disabilitas – seperti ramp khusus bagi kursi roda,
menyediakan hand rail, loket antrean yang adaptif, dan tulisan berjalan. Tidak
lupa juga untuk menyediakan pelayanan kunjungan secara langsung, tanpa harus
datang ke rumah sakit (homecare services).
Daftar Pustaka
Andayani, Ro’fah dan Muhrisun. 2010. Membangun
Kampus Inklusif: Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel. Yogyakarta:
PSLD UIN Sunan Kalijaga, Pertuni, ICEVI dan Nippon Foundation.
Badan Pusat Statistik. 2015. www.bps.go.id.
Moenir. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di
Indonesia. Jakarta: PT. Bumi. Aksara.
Rofah, dkk. 2011. Konsep Dasar Disabilitas dan Pendidikan
Inklusif, Disabilitas dan Pendidikan Tinggi: Bunga Rampai Penelitian.
Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga UIN Sunan
Kalijaga
Sewel, Carl dan Paul B. Brown. 1997. Pelanggan Seumur Hidup, Terjemahan.
Jakarta: Pustaka Tangga.
Soeling, Pantius D. 2007. Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung jawab social
perusahaan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis dan Birokrasi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Pelayanan
Publik.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Ratifikasi
Konvensi Hak
Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Penyandang
Disabilitas.